Dinda tak menyalahkan siapapun akan keterlambatannya pergi ke kantor. Jadi dia ikhlas saja saat diminta extend sampai malam. Biasanya, Dilon akan datang dan merecokinya ini dan itu. Tapi entah kenapa dia tak melihat pemuda petakilan itu sejak tadi.
Beberapa kali, perempuan itu menggeleng pelan saat penglihatannya mulai buram. Berjam-jam menatap layar laptop membuat matanya lelah.
Acha yang sedari tadi tertidur berakhir mengucek matanya saat terjaga. "Din, handphone kamu?!"
Tanpa banyak bicara, Dinda langsung memode diamkan ponselnya bersamaan dengan Acha yang pamit ke toilet.
Perempuan itu langsung melenggang pergi dan Dinda sendirian di ruangan yang diperuntukkan khusus untuk mereka. Atasan dan bawahannya memang dipisah ruangannya. Bukan maksud ingin membeda-bedakan tapi memang seperti itu kebijakan yang sudah dibuat oleh kantor sedari dulu.
Supaya apa? Tentu saja untuk meminimalisir jika ada yang dimarahi tidak perlu dilihat oleh semua orang. Cukup di depan atasannya saja. Jika tidak. Mungkin saja setelah dimarahi oleh atasan masih berlanjut dicemooh oleh pegawai lainnya yang mungkin saja ada masalah internal.
Dinda merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa pegal, berlanjut membuka aplikasi WhatsApp. Dia hanya melihat pesan dari yang dia pin chat. Ada beberapa pemberitahuan tugas dari grup penting kelasnya. Setelah itu, dia melakukan tanggapan layar pada bagian yang penting-penting saja sekaligus meneruskan ke grup pribadinya yang khusus kuliah. Selesai dengan gawainya, Dinda kembali bersandar pada sopa, mengasihani mata dan punggungnya sendiri yang sedari tadi bekerja bagai kuda.
Entah berapa lama dia tertidur. Tapi yang pasti, jam sudah menunjukkan pukul 21.25 WIB saat Dinda terjaga. Itu artinya dia tertidur sebentar, tak ada setengah jam. Saat menoleh ke meja kerja Acha, perempuan itu tidak ada tapi tasnya masih tergeletak rapi di sudut meja.
Mengencangkan ikatan rambutnya yang kendur, Dinda berlalu keluar dari ruangan. Koridor sangat sepi, tapi ada beberapa orang yang masih lembur juga di ruangannya sendiri-sendiri. Sebenarnya Dinda keluar karena ingin menghampiri Acha ke kamar mandi. Ada toilet di dalam tapi dia memilih toilet yang diluar. Dia memang suka seperti itu jika sedang suntuk atau bosan.
Sesudah berbelok ke lorong toilet, Dinda memundurkan langkahnya dan menoleh ke kanan kiri, Mencari sumber suara kegaduhan yang sempat didengarnya tadi. Namun, dia mulai berpikir kalau salah dengar karena itu kembali berjalan menuju toilet lagi.
Sialnya, dia kembali mendengar kegaduhan dan membuatnya penasaran. Selama bekerja di sana, Dinda belum pernah masuk ke gudang lantai tujuh. Kepalang tanggung kalau dia sampai berbalik dan menjauh pergi. Tinggal tiga langkah lagi.
Dan benar, perempuan itu akhirnya mengintip dari celah jendela. Gelap. Dinda tak menemukan apa-apa. Dia sudah berbalik ingin pergi, tapi karena tidak sengaja melihat cahaya redup, dia tidak jadi pergi. Saking niatnya, Dinda sampai menajamkan penglihatannya sendiri. Perempuan itu sadar kalau dirinya baru bangun tidur tapi dia bisa melihat dengan jelas kalau di dalam sana ada orang yang berpakaian serba hitam tengah memukul kepala seseorang dengan sesuatu yang panjang seperti tongkat pemukul sampai terjatuh. Dinda tak bisa melihat dengan jelas apa orang itu berdarah atau tidak karena kinerja jantungnya sendiri sudah berantakan. Apalagi jarak yang ada menjadi penghalang.
Dia ingin berhenti melihat itu semua tapi tidak bisa. Jangankan berbalik, menutup matanya saja tak kuasa. Otot matanya kaku, seolah memaksanya untuk terus menyaksikan sesuatu yang ada di dalam sana.
"Dinda?" Acha menepuk pundak Dinda dan berdiri di depan perempuan itu. "Ngapain?" tanyanya.
" Take me away from here, Cha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Human Disease
RomanceMenjadi dalang kehancuran keluarganya sendiri bukanlah keinginan Dinda. Perempuan itu tak pernah tahu kalau hidupnya akan sehancur ini. ______ They said, it is a broken life story. So what would you do with this story? Keep reading or finish here...