Gerimis yang syahdu menyambut kehadiran perempuan bermata nanar itu saat kembali menginjakkan kaki di Jakarta.
Katakan lah Dinda egois, karena memang seperti itu kenyataannya. Dia bahkan tak memberi tahu kepulangannya pada Sania. Soal Riza dan Mitha? Entahlah, dia tidak peduli. Dinda juga tidak akan menunggu satu bulan lagi.
Kepergiannya dari bandara membawa tubuhnya membelah jalanan ibu kota lebih dalam menuju Fortunite. Dinda merapatkan tubuhnya di dekat pintu, memandang lautan manusia yang tetap beraktivitas seperti biasa. Ada satu dua yang berteduh. Ada juga yang nekat menerabas rintik-rintik air yang perlahan mulai lebat. Dinda mengembuskan napas berat di sana, di saat lampu-lampu jalan, kendaraan, bahkan gemerlap gedung pencakar langit sekalipun, tak mampu lagi menenangkannya.
Dia kembali ke Fortunite karena ingin mengambil barangnya yang masih tertinggal di wardrobe. Kemarin dia take off pukul 7 pagi waktu setempat. Memang sengaja mengambil waktu awal agar bisa secepatnya kembali ke Indonesia.
Soal Milli dan Zaki, Dinda hanya bisa berpamitan lewat pesan singkat. Dia takut mengetahui lebih jauh, karena itulah dia memilih pergi secepat yang dia bisa. Kalau memang berjodoh, suatu saat nanti, dirinya pasti akan dipertemukan dengan mereka lagi.
Kurang lebih lima menit waktu yang dibutuhkan Dinda untuk berjalan dari depan gedung menuju seat. Saat sampai dan membuka pintu seat, dia malah dimanjakan pemandangan keakraban tiga lelaki di depannya.
Gaga, Adit dan Vicky, mereka sedang berbincang di sopa. Agak terkejut saat melihat Dinda tiba-tiba saja sudah berada di sana. Padahal setahu mereka, Mitha dan Riza sendiri belum kembali dari New York.
"Lhoh, kok lo udah balik sih, Din?"
Dinda tak repot menjawab, langsung melipir menuju wardrobe. Dia tak ada urusan lagi dengan mereka.
Ketiga lelaki itupun saling pandang satu sama lain. Gaga yang memang paling peka diantara mereka langsung berjalan menghampiri Dinda di wardrobe.
"Nyari apa?" tanya Gaga pelan saat melihat Dinda tengah membuka laci meja rias khususnya. Dinda tak menjawab. Dia sibuk mencari barang yang memang miliknya.
"Hai, kenapa?" Gaga menahan pergelangan Dinda karena dia ingin berpaling lagi.
"Nggak papa." kata Dinda pelan dan sibuk membuka laci untuk mengeluarkan berkas yang beberapa saat lalu sempat dia simpan di sana.
"Lo tau, nggak, Din? Rara udah balik. Adit udah cerita semuanya. Gue seneng banget." Kata Gaga antusias, padahal Dinda tak bertanya sedikitpun.
Kalau sudah begini berarti ada dua kemungkinan. Gaga memang type orang yang mudah mengumbar kesenangannya atau lelaki itu mulai percaya dengan Dinda sepenuhnya.
"Oh, syukur." kata Dinda sekenanya
Gaga menyerngit heran dengan sikap Dinda, "Lo kenapa, sih? Ada masalah?" tanyanya.
Dinda menggeleng. "Enggak."
Mereka tak sedekat itu sampai Dinda harus menceritakan masalahnya. Bisa jadi, Gaga malah mencemoohnya karena mengetahui kebenaran yang ada.
"Itu berkas mau diapain kok dikeluarin semua?" tanya Gaga lagi.
"Gue mau pergi."
"Ke mana?"
Dinda terdiam sejenak, menatap Gaga lamat-lamat sebelum membuka suara. "Gue berhenti. Boss lo udah ngelepasin gue. Gue udah nggak punya urusan di sini lagi."
"Lhoh, gak mungkin." Gaga menggeleng, "kontraknya masih banyak."
Dinda tersenyum lebar. "Gue udah selesai, Ga." katanya. Setelah itu mengambil berkas-berkas yang berhasil dia temukan dan membawanya pergi melewati Gaga begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Human Disease
RomanceMenjadi dalang kehancuran keluarganya sendiri bukanlah keinginan Dinda. Perempuan itu tak pernah tahu kalau hidupnya akan sehancur ini. ______ They said, it is a broken life story. So what would you do with this story? Keep reading or finish here...