Trigger warning!
Harassment and violence
***
Perempuan itu mematung di kursi kayu yang ada di dalam rumahnya. Sudah satu bulan lebih dia di sana dengan kegiatan monoton yang menguras batin dan fisik.
Seperti yang dia pesankan semua orang sebelum pergi, dia tidak ingin ada yang membantunya lagi. Dan sekarang, dia tersenyum. Semua orang menuruti permintaan terakhirnya tanpa terkecuali.
Baru saja semalam dia dipukuli ayahnya yang mabuk berat saat pulang. Dan sekarang, dia hanya diam karena tubuhnya sakit saat digerakkan. Sudut bibirnya bahkan sudah membiru, juga mata kanannya yang sedikit keunguan karena ulah tangan Fajar juga.
Sejauh ini, satu yang Dinda sadari. Papanya itu tidak bisa tidur dengan nyenyak setiap malam. seperti dirinya juga, papanya itu suka terbangun saat tidur. Percis seperti dirinya sekali.
Fajar yang keluar dari kamar tak melirik Dinda. Dia langsung menghempas tirai berwarna hijau untuk masuk ke dapur. Setelah itu terdengar gemericik air.
Meskipun hidup seperti ini, Dinda tetap bersyukur. Dia lebih lega bersama ayahnya sekarang. Setidaknya, dia bisa menebus semua kesalahan yang mungkin saja memang dirinya lah penyebabnya. Pun, dia juga tak tahu dimana letak kesalahannya sejauh ini. Entah dia yang bodoh atau semua orang yang bodoh.
Beberapa menit berlalu, Fajar keluar dengan tampilan casual. Celana bahan dengan kemeja kotak-kotak seperti bapak presiden yang dilapisi jaket.
"Mau ke mana, Pa?" Dinda bertanya pelan saat Fajar berdiri di ambang pintu.
Fajar tak merespon, dia kembali berbalik dan langsung melipir ke kamar. Perempuan itu sudah kebal didiabaikan seperti itu.
Tak selang lama kemudian, Fajar keluar dari rumah. Dinda tebak, Fajar akan pulang saat malam itupun dengan keadaan mabuk. Kalau terlanjur teler, Fajar akan tertidur di lantai. Kalau masih kuat ya itu, dia tak segan memukuli Dinda dan menjadikannya bak samsak tinju.
Satu bulan ini pula, Fajar tak pernah memberi uang serupiah pun. Beruntung, Dinda membawa simpanan, kalau tidak, bisa mati kelaparan dia walaupun memang jarang makan.
Dengan langkah di seret, Dinda lantas keluar rumah. Tak jauh dari rumahnya, ada warung makan. Dia ingin membeli makanan.
"Buk beli."
"Apa, Neng? Lauk apa nasi?" tanya ibu-ibu itu ramah.
"Nasi ikan sama ayam satu ya, Buk. Sama ikannya saja."
Ibu itu membuat pesanan Dinda dengan sekali-kali melirik ke arah rumahnya. "Neng, Neng siapanya si Fajar? Kok tinggal sama dia?"
"Saya a-"
"Dia itu jahat banget sama anaknya tau, Neng. Masak anaknya dijual buat main judi. Tapi syukurin sekarang Neng Rara ilang, biar tahu rasa dia." bisik ibu-ibu itu lagi.
Dinda tak berekpresi apa-apa.
"Semuanya dua puluh lima ribu, Neng."
Setelah mengulurkan uang lima puluh ribuan, Dinda langsung pergi begitu saja. Dia tidak ingin mendengar lebih jauh lagi.
"Lhoh, Neng! Ini kembaliannya gimana?" teriak ibu itu.
Dinda sengaja tak menjawab dan mempercepat langkahnya untuk masuk dalam rumah, tak lupa menguncinya dari dalam. Dia menarik kursi dan duduk di sana. Tatapannya jatuh pada nasi bungkus yang baru saja dibelinya. Kalau begini, Dinda jadi ingat dengan Iqbal, adik kecil dan juga kakaknya.
Tak mau makan sendirian, Dinda keluar untuk memanggil kucing liar di sekitar rumahnya.
Celingak-celinguk membuahkan hasil. Dinda melihat kucing besar berwarna coklat polos. Jika dilihat-lihat, kucing itu seperti kucing campuran. Antara kucing kampung dengan kucing Persia "Pus pus! Sini, makan!" katanya sambil melambai-lambaikan tangan. "Makan ikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Human Disease
RomanceMenjadi dalang kehancuran keluarganya sendiri bukanlah keinginan Dinda. Perempuan itu tak pernah tahu kalau hidupnya akan sehancur ini. ______ They said, it is a broken life story. So what would you do with this story? Keep reading or finish here...