32. Psyche

516 57 0
                                    

Sebenarnya, Dinda tidak ingin tahu tapi dia penasaran dengan keadaan Riza. Otaknya yang cerdas sudah berpikir sedari tadi kalau Riza pasti ditunggui oleh istrinya sendiri. Lalu untuk apa ia datang?

"Shut up!" Dinda menggeleng, lantas memukul pelan kepalanya sendiri karena pikirannya yang bercabang-cabang tak tentu arah hanya karena seorang pria yang ingin ia hindari.

"Oeh, kenapa?" tanya Nita bingung sendiri, pasalnya Dinda aneh. Siapa yang diajak bicara, kan semua orang sedang sibuk saat itu.

Dinda yang sadar ditatap aneh temannya langsung turun dari ranjang. Lagipula, dia kan tidak kenapa-napa, kenapa ikut diinfus juga.

"Eh mau ngapain!" pekik Rani nyaring, berdiri dan langsung menghampiri Dinda yang mencabut infus di tangannya kasar.

"Mau pulang," katanya santai.

"Emang udah enakan?"

"Emang gue kenapa?" tanya Dinda balik.

Rani mengangkat bahunya acuh. "Nggak tau, kata Adit kemarin lo kumat makanya di bawa ke rumah sakit sama mereka. Mikirin apa lagi, sih? Otak kecil lo meledak entar kalo kebanyakan pikiran."

"Meledak your head!" makinya.

"Ck, misuh-misuh terus, sebelum pergi jenguk si bos dulu yuk," ajak Rani.

Dinda memicingkan matanya.

"Dia kecelakaan semalem." Jelasnya tanpa diminta.

Kecelakaan apanya? Tuh kan, mereka semua memang tidak beres. Jelas-jelas semalam mereka disiksa.

Dinda bersedekap dada. "Nggak, nggak mau. Gue ngantuk mau pulang. Lo kalau mau jenguk, jenguk aja sendiri."

Nita menatap Dinda tak habis pikir. "Gini nih, kalo pelajaran PPKN suka tidur, nggak mau ngamalin sila kedua Pancasila."

"Nggak usah bawa-bawa Pancasila!" sungut Dinda tidak terima. "Ntar gue jenguk, gue liatin lewat jendela. Lagian, pede banget lo pada diizinin masuk?"

"Lo abis kumat kok banyak omong sih, Din." Nita menatap Dinda heran.

Masak? "B aja!"

"Din, bisa ikut gue sebentar?" tanya Adit tiba-tiba muncul dari celah pintu.

Daripada meladeni kedua temannya, Dinda memilih mengikuti Adit. Dan sialnya, Dinda tidak sadar kalau Adit membawanya masuk ke ruangan Riza. Saat matanya melihat Gaga duduk di sopa, Dinda siap berbalik ingin melarikan diri tapi Riza angkat bicara. "Dia mau bicara," katanya pelan.

Dinda menghembuskan napasnya perlahan dan berjalan ogah-ogahan, kemudian duduk di sopa yang sama dengan Gaga tapi mereka sama-sama duduk di ujung. Seperti suami istri atau adik kakak yang sedang bertengkar, jauh-jauhan.

Kalau bukan karena balas budi, Dinda tidak sudi menuruti keinginan bossnya.

Hening langsung melingkupi ruangan itu. Mitha yang sedari tadi setia menemani Riza, langsung menggenggam tangan suaminya itu erat.

"Gue minta maaf," kata Gaga penuh penyesalan setelah sedari tadi terdiam cukup lama. Dinda sendiri hanya diam, tak mau merespon. Wajahnya yang dingin sudah cukup menunjukkan respon tak bersahabatnya.

"Mata lo mirip banget sama dia."

Mata, mata dan mata yang selalu Gaga sebut. Memang matanya kenapa, apa mungkin Gaga terlalu tergila-gila dengan perempuan itu sampai menganggap orang lain adalah perempuan yang dicintainya?

Karena Dinda tak kunjung menjawab, Gaga memberanikan diri untuk duduk di dekat Dinda.

"Din gue—"

Dinda yang panik karena didekati tanpa sadar langsung bangkit berdiri. "Jangan deket-deket!" peringatnya sekali. Namun Gaga seolah menulikan pendengarannya, dia malah semakin mendekat yang membuat Dinda semakin panik. Jantung perempuan itu kembali berdetak kencang dan membuat dadanya sesak bukan kepalang.

Human DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang