Menunduk dalam, hanya itu yang bisa Dinda lakukan sekarang. Jangankan untuk mengangkat kepalanya, melirik ke arah lelaki di seberang sana saja dia tak kuasa.
"Kamu ngapain, Din?!" Aldi berbalik, mengangkat berkas ke udara. "Jawab!" teriaknya lantang sambil melempar asal berkas itu ke lantai.
"Gila kamu, ha?! Kenapa kamu malah mengiyakan permohonan bodoh si brengsek itu?!" tanyanya frustasi.
Dinda semakin takut saat si berengsek aka Gaga kembali disebut. "Bukan salah Gaga, Kak. Jangan marah sama dia! Aku sehat dan Kak Lala nggak bisa nunggu lebih lama lagi."
"Tapi bukan ginjal kamu juga!" Aldi membentak. "Kita bisa cari jalan keluar yang lain! Kamu kenapa nggak bisa sabar sedikit, aja?!"
"Kalau ada yang di depan mata kenapa harus nyari yang lain?" Dinda menarik tangan Aldi dan membawa ke pangkuannya. "Kak-"
Aldi langsung bangkit, dia tidak akan luluh. Dinda menghela napas pelan. Ini tidak akan mudah, dia akan mencobanya lagi.
"Kak tolong, cuma ini yang bisa aku lakuin buat Kak Lala."
"Rara nggak akan suka kalau dia tahu!"
"Karena itu, tolong jangan bilang apapun sama dia." Dinda menatap Aldi memohon, "Yah! Aku mohon, Kak?"
Aldi kembali berbalik membelakangi Dinda, dia berkacak pinggang sambil menengadah, mencoba meloloskan sesak yang merongrong rongga dadanya.
"Kak, aku bakalan baik-baik aja. Dokter menjamin itu." kata Dinda lagi agar Aldi mau mengizinkannya.
"Ya tapi kalau setelah itu kamu kenapa-napa gimana?" Dinda menunduk diam, dia juga tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan Aldi. Padahal Aldi masih berdiri membelakanginya. "Punya otak itu dipakai! Jangan asal iya-iya aja!"
"Dia kakakku, Kak. Kak Lala bukan orang lain!"
"..."
"Kak-"
"Apa kakak-kakak terus?! Kalau kamu nganggep kakak ini kakak kamu, cabut berkas itu! Kalau enggak, terserah!" Aldi mengibaskan tangannya ke udara dan langsung pergi meninggalkan Dinda begitu saja. Aldi bahkan tetap pergi meskipun Dinda meneriaki namanya.
Mendengkus pelan, Dinda mengingat hari di mana Gaga memohon kepadanya.
Sebenarnya, setelah Rama pergi dengan lamaran konyolnya waktu itu, Gaga datang. Lelaki itu merendahlan diri dengan berlutut di depannya, memohon dengan sangat agar Dinda mau mendonorkan ginjalnya pada Rara. Dan tiba lah hari ini, saat pemeriksaan itu keluar, semua normal dan Dinda cocok dengan ginjal Rara.
"Hai?"
Dinda mendongak dan cengengnya langsung mengambil alih saat melihat Rama berdiri di ambang pintu. Lelaki itu mendekat, duduk di sebelah Dinda dan menariknya dalam dekapan. "Shttt, nggak papa, dia lagi marah. Nggak usah dipikirin." Katanya lembut.
"Dia marah," lirih Dinda.
"Of course! You didn't say anything?"
"Dia pasti nggak akan setuju,"
"Karena Aldi sayang sama kamu. Aku bahkan nggak setuju.
"Rama-" tangis Dinda semakin menjadi-jadi.
"Kenapa nangis, hm?" Rama menunduk, menatap sisi wajah Dinda yang basah air mata. "Lakuin apa yang mau lakuin, nggak usah libatin kita. Kita kan nggak penting buat kamu, iya, kan?"
"Bukan begitu!" Dinda menarik dirinya menjauh, dia menatap Rama nanar, "cuma ini yang bisa aku lakuin buat Kak Lala, Ram"
Rama menatap Dinda tak percaya. "Cuma, Din? Kamu pernah mikir nggak, konsekuensi donor ginjal itu kayak apa?" Dinda menunduk, dia tak berani menatap Rama. "Okelah, semua orang tahu kalau kamu kuat. Tapi jangan sombong! Donor ginjal itu nggak main-main. Kalau satu, dua tahun ke depan kamu kenapa-napa bagaimana? Siapa yang tanggung jawab? Siapa yang tanggung sakitnya? Kamu Din, kamu sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Human Disease
RomanceMenjadi dalang kehancuran keluarganya sendiri bukanlah keinginan Dinda. Perempuan itu tak pernah tahu kalau hidupnya akan sehancur ini. ______ They said, it is a broken life story. So what would you do with this story? Keep reading or finish here...