41. Excessive

473 51 21
                                    

Tak ada air mata lagi. Kini, perempuan itu sudah terpejam di peraduan.

Rama...

Ramanya sudah kembali. Dia seperti menemukan harapan baru saat Rama kembali kepadanya. Tapi tetap saja, ada yang harus pergi lagi.

Ah—memang selalu seperti itu. Ada yang datang ada juga yang pergi

Aldi yang duduk di pinggir ranjang, mengurut pelan batang hidungnya. Waktu yang mereka miliki, tidak lama lagi, kurang dari 24 jam, Dinda akan pergi. Sedangkan Dinda sendiri terdiam dengan mata sembab meskipun tangisannya sudah berhenti.

"Kita masih bisa ngejelasin ke Papa kamu, Din. Kita bisa test DNA. Kamu nggak perlu pergi. Golongan darah kalian bahkan sama. Om Fajar hanya terlalu emosi sampai nggak objektif ngeliat fakta," kata Aldi mencoba bernegosiasi, dia belum kehilangan harapan. Apapun demi Dinda, akan ia usahakan.

Saat itu juga, Dinda bangkit dari tidurnya. Rama yang sedari tadi bersandar di samping pintu sambil bersedekap dada, hanya menatap Dinda datar. Dia kira, dia yang akan mengejutkan semua orang. Tapi kenyatannya berbalik sekarang, dia yang dikejutkan dengan semua yang baru saja terjadi. Apalagi memar baru di wajah Dinda saat merengkuh gadis itu pertama kali setelah sekian lama.

"Din, please. I know that you have been waiting for this time. But come on, it isn't the best decision?" Lelaki itu menatap Dinda frustasi "Jangan pergi!" lirihnya memohon entah untuk yang keberapa kalinya.

"Kak?" panggilnya pelan.

"..."

Dinda mendesah lelah saat itu juga. "Aku mau pergi, Kak. Masih mau ngacangin aku juga?"

"Kamu nggak akan pergi ke mana-mana! Nggak akan ada yang pergi lagi!" Aldi menegaskan. Ayolah, mereka saja baru dipertemukan. Andai kesalahpahaman tidak pernah terjadi, mereka bisa berdamai dan hidup dengan tenang.

Dinda tersenyum dan kembali bersandar pada bahu Aldi "Aku nggak akan kenapa-napa. Dia kan papaku. Jangan marah." lanjutnya.

"Papa apanya?" tanya Aldi bersungut-sungut. Dadanya langsung naik turun tak beraturan sejak Dinda mengatakan akan pergi.

Perempuan itu lantas membuang napas terpaksa. "Nikah gih, Kak. Udah punya calon, kan? Jangan jagain aku terus. Aku udah gede. Pikirin masa depan Kakak sendiri. Jangan mikirin aku yang banyak nyusahinnya. Pacar Kakak pasti sedih kalau Kakak lebih prioritasin aku." katanya sambil menusuk-nusuk pelan lengan Aldi.

"Jangan ngaco!"

"Jangan nyakitin Acha terus, Kak. Sedih tahu liat dia murung."

Aldi langsung menegang di tempat.

"Dia perempuan baik-baik, nggak pernah milih-milih temen. Dia ikhlas banget kalo bantuin orang. Kadang dia nangis di kamar mandi, pasti abis berantem sama Kakak, kan, gara-gara aku?" tebaknya. "Jangan bikin nangis anak orang, tahu? Nanti, kalau Kakak punya anak cewek, pasti nggak terima kalau anaknya disakitin."

Aldi menatap Dinda tak habis pikir. "Pinter banget kamu, ya, malah balik nasihatin Kakak?"

"Ya, kan, aku emang kurang ajar. Kakak lupa ingatan?" tantangnya.

"Ram?" Aldi lantas menoleh ke arah Rama dengan dagunya yang agak terangkat. "Ajak nikah gih. Keras banget kepalanya. Batu!"

Rama tersenyum miring, dia tak beranjak sama sekali dari tempatnya berdiri. "Dianya mau enggak. Udah lama aku tinggalin soalnya."

Mendengar balasan Rama, ganti Dinda yang mematung di tempat. Dan saat itu juga, Rama memutuskan untuk keluar dari kamar perempuan itu.

"Tuh, Rama pergi lagi. Samperin! Nanti nangis-nangis lagi." tutur Aldi.

Human DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang