34. Lame

436 58 24
                                    

Selama ini, Dinda sudah terlalu sering bermimpi. Oleh karena itu, tolong siapapun bangunkan dia sekarang juga. Dia lelah bermimpi atau mungkin saat ini dia sedang berhalusinasi seperti yang lalu-lalu?

Bahkan rasa sakit karena cuaca yang ekstrem, tak ada artinya dibandingkan rasa sakit yang Dinda rasakan saat melihat lelaki di depannya lagi setelah sekian lama.

"Din?" lirih lelaki di depannya.

Saat itu juga, bertepatan dengan air matanya yang mengalir, Dinda menampar keras-keras pipi lelaki di depannya. Dia ingat betul kenapa hidupnya bisa sampai semenyedihkan ini.

Zaki terdiam saat wajahnya terpaling karena tamparan Dinda yang begitu keras, dia yakin kalau tangan Dinda sakit juga.

Dari sekian banyaknya kota, dari sekian banyaknya orang dan dari sekian banyaknya waktu, kenapa Dinda dipertemukan kembali dengan lelaki yang mati-matian ingin dia benci? Kenapa dia dipertemukan kembali dengan lelaki yang mati-matian ingin dia hindari? Kenapa dia dipertemukan kembali dengan lelaki yang ikut andil membuat hidupnya semenyedihkan ini? Demi Tuhan... Apa yang takdir inginkan sebenarnya?

Tanpa mau bertahan lebih lama, Dinda bergegas pergi. Dia sudah cukup muak dengan semua yang terjadi. Namun apalah daya kalau selalu ada drama yang menyertai setiap kisah hidupnya.

"Din dengerin, aku!" cegah Zaki, mencoba sekuat tenaga untuk menahan pergelangan tangan Dinda.

Tak mau disentuh, Dinda menghempas tangan Zaki kasar. Dia benar-benar muak dengan semua yang terjadi. Bisakah hidupnya kembali berantakan seperti yang dulu saja, sebelum bertemu mereka semua? Berantakan dengan caranya sendiri, bukan karena orang lain. She won't anything.

"Din, please!" lirih Zaki tercekat hebat akan tenggorokannya sendiri.

Dinda menatap Zaki tanpa ekspresi. "Apa?" tanyanya pelan. "Apa, apa?!" didorongnya dada Zaki kasar.

Dinda memejamkan matanya. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum kembali berbicara. "Kamu! Kamu yang ninggalin aku ke lelaki brengsek itu!" katanya sambil menunjuk-nunjuk dada Zaki sampai membuat sang empunya sedikit terhuyung ke belakang. Zaki tertunduk dalam, dia tak punya keberanian untuk menatap Dinda.

Dinda kembali menatap Zaki dengan mata memerah hebat, mungkin menahan tangis, atau mungkin menahan amarah yang dipendamnya selama ini. "Kenapa kamu ninggalin aku sama lelaki itu, Ki?" bisiknya lirih.

"Din?" Sorot mata Zaki yang redup tak kuasa melihat sorot mata Dinda yang kosong penuh kebencian. Sedangkan Mitha sedari tadi menahan lengan Riza agar tidak ikut campur urusan mereka.

Tak ingin berlama-lama tersiksa seperti ini, Dinda langsung pergi tanpa peduli akan tahanan maupun panggilan yang ditujukan kepadanya.

"Din! Dinda!?"

Tak memedulikan panggilan Zaki, Dinda berjalan cepat sejauh mungkin. Tak peduli lagi dengan orang-orang yang dia tabrak. Dia butuh waktu itu berdamai dengan dirinya sendiri sebelum bisa berdamai dengan orang lain.

Tak tanggung-tanggung, Dinda keluar dari hotel dan pergi malam hari di saat musim dingin seperti ini dengan pakaian yang terbuka pula. Dinda tak tahu lagi. Dia rasa semuanya sedang berkonspirasi untuk menghancurkan hidupnya.

Riza yang sedari tadi menahan dirinya tak tahan lagi saat Dinda pergi. Tanpa pikir panjang dia langsung menghampiri Zaki yang bergeming di tempatnya dengan tatapan tak terbaca.

"Brengsek!" Riza mencengkeram kasar kerah baju Zaki.

Zaki yang memang tak punya daya saat pertama kali melihat Dinda tak melakukan perlawanan sama sekali. Rasa sakitnya tak sebanding saat melihat Dinda yang menangis karenanya.

Human DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang