Mendengar nama papa dari mulut perempuan itu, mereka saling tatap dan berangsur menjauh dengan langkah yang tergesa. Bahkan sampai lari tunggang langgang karena ketakutan. Jangan sampai nyawa mereka menjadi taruhan lagi karena salah mengganggu orang.
Dinda masih meringkuk di lantai, memeluk erat tubuhnya sendiri. Dia menangis, menggumamkan nama papanya yang tak kunjung datang. Bahkan untuk bangkit, dia tak kuasa. Tubuhnya remuk redam apalagi jiwanya yang nyaris kehilangan akal.
Fajar yang sedari tadi tidak tenang langsung berlari ke dalam rumah saat melihat pintunya terbuka dari luar. Tanpa sadar, dia menjatuhkan bungkus lauk yang dibelinya di depan. Lelaki itu keluar sebentar karena lapar. Saat melihat rice cooker baru di dapur tadi, Fajar berniat membeli lauk saja. Karena itu dia pergi dan mengunci pintunya dari luar.
Dan saat kembali, dia melihat pintu rumahnya terbuka lebar. Pria itu tidak bisa berpikir selain pikiran buruk yang terjadi di rumahnya.
Pertama-tama, Fajar menyalakan lampu, dia memungut selimut Dinda yang terjatuh di lantai. Dengan lagkah tergesa, Fajar membuka pintu kamar. Karena tak mendapati apa-apa, Fajar langsung berlari ke dapur masih dengan mulut yang terkatup rapat.
Rasanya, bumi berputar hebat dan menimpa tubuhnya saat itu juga. Dia berlari, jatuh berlutut di samping gadis yang menangis pilu dengan pakaian yang masih lengkap hanya saja ada luka baru di wajahnya.
Fajar menatap Dinda tak percaya. Hidungnya, bibirnya, dagunya, semuanya berdarah. Sementara keningnya terdapat baret yang cukup dalam.
"Papa?" panggil Dinda lirih, hendak mengadu bahwa dirinya telah disakiti oleh orang-orang yang tak bermoral tadi.
Pria paruh baya itu langsung bangkit. Dia mengambil selimut dan kembali menghampiri Dinda lalu membungkus tubuh gadis itu dengan selimut.
"Papa." lirih Dinda lagi.
Melihat Fajar di depannya, Dinda tak mampu menahan apapun lagi. Dia menangis pilu di sana. Dia ingin mengadu apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Sedari dulu, papanya adalah orang yang paling tahu. Papanya adalah teman terbaik yang selalu mendengarkan keluh kesahnya.
Hati Fajar berdenyut nyeri melihat keadaan Dinda. Bagaimana bisa dia terima saat dirinya menyiksa Dinda sedangkan tidak terima saat ada orang lain yang menyiksanya. Perasaan macam apa itu? Harusnya dia tidak meninggalkan Dinda sendiri tadi. Harusnya, dia percaya saat Dinda berkata kalau ada orang yang menguntit rumahnya. Gadis itu sudah mengatakan perihal itu sejak dia pulang. Tapi dia menutup telinga dan menganggap seolah yang dikatakan Dinda hanya angin lalu.
Fajar menelan ludah susah payah, "Siapa... siapa yang melakukan ini sama kamu?"
Dinda masih tak menjawab. Dia hanya menangis lirih dan menggumamkan kata papa terus menerus. Karena yang dia ingat, orang-orang itu pergi saat dirinya berteriak kata papa.
Mencoba bersabar, Fajar mengusap wajahnya frustasi menunggu Dinda mengatakan kata selain papa. Namun Dinda tak kunjung berbicara juga. Habis sudah. Fajar menggoncang kuat kedua bahu perempuan itu. "Dengarkan saya! Dengar! Siapa? Siapa yang melakukan ini sama kamu?!"
Dinda menelan ludah susah payah, mencoba mengatur napasnya yang berantakan. Saat berhasil menguasai dirinya sendiri, Dinda menyentuh pipi kanan Fajar. "Pip-pipinya di jahit. Tiga orang." katanya bergetar
Fajar langsung memejamkan matanya dalam-dalam. Sejurus kemudian membuka matanya lagi dan menatap Dinda dengan mata yang memerah tajam.
"Jangan pergi! Jangan pergi lagi!" tangis Dinda saat merasakan kalau Fajar akan meninggalkannya. Dia peluk tubuh papanya tanpa takut, tak peduli kalau dipukuli lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Human Disease
RomanceMenjadi dalang kehancuran keluarganya sendiri bukanlah keinginan Dinda. Perempuan itu tak pernah tahu kalau hidupnya akan sehancur ini. ______ They said, it is a broken life story. So what would you do with this story? Keep reading or finish here...