49. Surrender

516 54 4
                                    

Setiap kakak pasti menginginkan yang terbaik untuk adiknya, begitu pun dengan Aldi. Dia menginginkan yang terbaik untuk Dinda. Bahkan kalau bisa, dia akan melakukan apapun asalkan Dinda bahagia dalam hidupnya.

"Kamu mau operasi kok jadi sakit gini sih, Din?"

Dinda menggeleng pelan. "Pusing aja, Kak."

Aldi tak serta merta percaya dengan perkataan Dinda. "Undur aja, ya?"

"Kak Lala nggak bisa nunggu."

"Ya gimana? Kamunya malah sakit gini!" kata Aldi gusar. Kemudian menoleh, keningnya berkerut saat tak mendapati orang yang membawa Dinda tadi.

"Dia udah pergi." Kata Dinda pelan seolah mengerti kebingungan kakaknya.

Aldi tak peduli dan kembali menatap Dinda sengit.

"Kak?"

"Papa kamu tadi ke sini. Dia jenguk Rara." kata Aldi.

"Nggak nanyain aku?"

Enggak, "Ditanyain lah."

Dinda tersenyum lirih. Dia tahu kakaknya berbohong. "Ngajarin nggak boleh bohong, tapi yang ngajarin malah bohong sendiri." sindirnya.

Tak mau melanjutkan pembahasan itu lebih lama, Aldi memilih mengusap lembut kepala Dinda dan turun ke lehernya. "Enggak panas."

"Ya emang enggak." kata Dinda. "Kan aku bilang cuma pusing. Tadi tuh tekanan darah aku rendah."

"Kamu nggak tidur kan kalo malem?"

"Aku tidur kalo minum obat tidur."

"Pingsan!" semprot Aldi kesal. "Itu bahaya tahu, nyerangnya otak sama jantung!"

Dinda tertawa pelan. "Kak?"

"Apa?" tanya Aldi tak semangat.

"Sama Acha gimana? Pasti seru kalo aku punya kakak ipar dia hehe."

"Nggak usah mikir kejauhan!" semprot Aldi lagi.

"Nunggu apa lagi sih, Kak? Nggak enak tau digantung kayak jemuran! Jangan kebanyakan mikir, nanti Acha diambil orang lhoh." Dinda terdiam sejenak, "Ini kan zamannya pacarannya sama siapa, deketnya sama siapa, eh nikahnya sama siapa."

"Otak kamu kayaknya harus dibenerin deh, Din. Kamu tuh kuliah putus tengah jalan, mikir yang enggak-enggak. Pokoknya, nanti abis operasi, udah sembuh, balik kuliah lagi!"

"Yah, mulai dari nol lagi dong?"

"Enggak! Belum cuti dua semester, kan? Masih bisa balik. Kalau sampai batas pengambilan cuti, nanti aku bicara sama direktur. Lagian, memangnya mau kemana kok cuti 2 semester, hm?

"Ya mana tahu, Kak? Lagian aku mau sama papa." Dinda mencebikan bibirnya kesal, "kenapa repot-repot kuliah segala lagi, sih?"

"Emangnya Om Fajar mau sama kamu?" tanya Aldi, "Udah nurut aja sama kakak! Jangan ikut sama Om Fajar lagi!"

"Nggak mau. Sama papa ya sama papa!" kata Dinda bersih keras.

Aldi memutar bola matanya malas. "Tck, kamu nanyain mama kamu aja enggak, Din! Otak kamu di mana sih?!"

"Buat apa kutanyain?" tanya Dinda balik. "Udah pasti bahagia lah, putrinya pulang."

"Harusnya dulu kamu masuk psikolog! Biar bisa ngerti orang lain! Nggak keras kepala! Nggak ngelunjak sama orang yang lebih tua!"

Dinda malah tertawa. "Kan ngaku! Udah tua, mau nunggu apa? Kasian anak kakak nanti, masih kecil orang tuanya udah tua banget."

"Tuh-tuh, ngelunjak kan kamu lama-lama!"

Human DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang