9. Stuck

746 70 8
                                    

Dinda tidak tahu kenapa—tapi kakinya malah menuntunnya kembali ke rumah setelah sedari tadi berjalan tak tentu arah.

"Pintu itu selalu terbuka buat kamu." Dinda memalingkan wajah saat Aldi tiba-tiba berdiri di sampingnya. Bertahun-tahun bersama membuat Dinda bisa tahu kalau nada bicara yang digunakannya pria itu menunjukkan kelemahannya saat ini.

"Ayo?" Aldi menggenggam tangan Dinda dan menariknya pelan tapi Dinda bergeming, dia hanya membuka matanya yang semula terpejam untuk melihat tangan lancang yang berani menyentuhnya. Aldi menyadari semua pergerakan itu, tapi dia tak peduli dan menarik Dinda kembali.

"Stop it, kak." Lirih perempuan itu setelahnya.

"Kakak minta maaf udah nampar kamu. Ka—"

"Who is she?" Dinda tidak peduli akan hari itu. "Three months ago, you met woman in Bandung. Especially in your bed room apartment?" bisiknya.

Aldi diam, dia tidak mungkin memberitahukan yang sebenarnya.

Mata Dinda berkaca-kaca menahan kekesalan yang sudah di ambang batas toleransi. Tiga jam sudah dengan bodohnya dia menunggu tapi Aldi tak nampak juga batang hidungnya. Kalau saja Aldi meminta Dinda tidak menunggu, dia tidak akan menunggu. Tapi masalahnya ,Aldi meminta Dinda untuk menunggunya sebentar saja.

Sebentar lagi. Tunggu Kakak sebentar lagi. Kakak udah di jalan.

Itu kalimat terakhir yang Aldi ucapkan sebelum akhirnya memutus sepihak. Dan itu sudah tiga jam yang lalu.

Dinda tahu Aldi selalu menepati perkataannya, karena itulah dia tetap menunggu sampai tengah malam. Tapi entah mengapa hari itu Aldi tak kunjung datang juga. Jika Dinda dikerjai, itu tidak lucu sama sekali. Aldi lah yang ulang tahun di sini.

Tak mampu menahan kesabarannya lagi, Dinda langsung menyusul Aldi ke Bandung. Persetan dengan kejutan yang sudah disusun dengan teman-temannya harus gagal total.

Bandung adalah kota yang paling Dinda hindari selama ini. Kalau bisa, dia tidak ingin menginjakkan kakinya di sana lagi. Menepis semua keraguannya, Dinda perlahan turun dari mobil dan pergi ke salah satu unit apartment mewah di Kota Bandung.

Jika Aldi tahu semua tentang Dinda, begitupun sebaliknya. Dinda tahu semua tentang Aldi. Dengan percaya diri Dinda memasukkan password di kamar nomor 63. Benar bukan, pintunya terbuka. Perlahan Dinda masuk, tapi tenggorokannya langsung tercekat saat itu juga.

Kakak yang ditunggunya sedari tadi, yang ingin dirinya berikan kejutan malah sibuk dengan perempuan di kamar apartment seperti ini. Dadanya benar-benar sakit, Dinda tak menyangka kalau kejutan yang dia persiapkan jauh-jauh hari tak berguna dan malah dia yang mendapat kejutan pahit seperti ini.

Malam itu juga Dinda hampir dinodai sekumpulan pria biadab karena luntang-lantung di jalanan yang sepi. Tapi Tuhan masih berbaik hati. Ada seseorang yang menolongnya dan dia langsung berlari menjauh tanpa tahu nasib sang penyelamatnya.

Kejadian itu pula yang membuat Dinda seperti ini. Bukan hampir diperkosanya, tapi tindakan Aldi yang Dinda rasa tidak bermoral. Sebagai adik, Dinda jelas sangat kecewa.

Bagaimana mungkin Dinda harus bahagia di saat dia tahu bahwa kakaknya tengah berniat serius dengan teman kantornya tapi malag dirinya menangkap kakaknya pelukan dengan wanita lain di apartemen seperti ini.

Banyak yang bilang kalau orang yang paling dekat dengan kita adalah orang yang paling berpotensi menyakiti lebih dari siapapun, dan itu memang benar adanya. Dinda sudah membuktikan sendiri rasa sakitnya.

Kalau dibilang cemburu, tentu saja Dinda cemburu. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah siapa perempuan itu dan kenapa Aldi tidak pernah bercerita. Andaikan Aldi mengatakan kalau itu kekasihnya, Dinda akan diam saja dan tidak akan ada drama pergi dari rumah. Tapi sayangnya—Aldi tetap tidak mau berbicara. Itu yang membuat Dinda terluka.

Human DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang