22. Rush

476 52 0
                                    

Semua orang pasti pernah berharap. Ya, itu pasti. Kebenarannya, kekuatan manusia terletak pada doa dan harapan. Jika terlanjur meninggalkan doa dan harapan satu-satunya direnggut pula, apalagi yang bisa seseorang lakukan? Seseorang bahkan tak bergairah untuk bernapas yang menjadi kebutuhan paling penting sekalipun. Menyedihkan.

Seseorang pernah bertanya dan orang lain penah menjawab. Kenapa orang bisa meninggal? Karena tidak mau makan nasi.

Apakah ada hubungannya? Tentu ada.

Pertanyaan sederhana tapi dibalas dengan pernyataan ambigu seperti itu. Kenapa orang bisa meninggal? Karena tidak mau makan nasi. Benar, orang meninggal tidak bisa makan nasi. Tapi kenapa tidak menjawab "Sudah takdirnya?"

Itulah kebiasaan orang selama ini. Seperti Riza yang memperkeruh keadaan karena melihat semua hal dari satu sudut pandang, sudut pandangnya saja.

Dia adalah lelaki keras kepala yang akan melakukan apapun untuk orang yang dia cintai, terlepas menyakiti ataupun tidak dia tidak peduli. Baginya, selama orang yang dia cintai masih hidup, dia akan melakukan apapun untuk mempertahankan napasnya bukan kebahagiannya. Pemikirannya saja sudah salah kaprah sejak awal. Sulit untuk mengubah apa yang dia yakini sedari awal.

Benar, dua hari ini Dinda terjaga. Dia tidak bisa tidur ataupun makan. Pikirannya masih berkecamuk tentang Milli dan Zaki. Ada ketakutan yang mendalam setelah semua yang terjadi. Dia yakin kalau setelah ini, dia dan Zaki tidak akan lagi sama.

Semuanya akan kembali seperti dulu, layaknya orang asing. Bahkan lebih. Finally, God is the winner to determine their destiny.

Kebohodan Dinda yang paling parah adalah, ketika dirinya kembali percaya setelah dibohongi sedemikian rupa. Harusnya dia pergi sejak kemarin. Kontrak itu hanya akal-akalan belaka. Lalu untuk apa dia tetap bertahan di sana bahkan setelah keesokan harinya?

"Kenapa taken kontrak sama Dinda, Mas? Tidak ada model lain? Kasihan Dinda-nya. Tidak baik membenci orang. Lebih baik mencintai orang yang salah daripada membenci orang yang benar." Mitha berujar pelan sembari mengusap kepala Riza yang ada di pangkuannya seperti tadi malam. Semua yang Riza lakukan, Mitha pasti tahu semuanya.

"She's part of the Atlantic."

Mitha tersenyum, "Mas bisa meruntuhkan semua agensi naungan Zaki, disatukan dengan Fortunite. Adit dan Vicky pasti bisa mengurus dengan baik."

"Tidak semudah itu, Yak." Riza bangkit dari posisi rebahannya, dia manatap Mitha lekat, raut wajahnya nampak pucat. "Banyak yang kerja sama Zaki, kalau aku putuskan sepihak, mereka akan kehilangan pekerjaan dan dendanya di kita tidak main-main."

Tahu-tahu Mitha berdiri, tentu Riza langsung menahan pergelangan tangan perempuan itu. "Mau kemana?"

"Ambil tabungan,"

Baiklah, Riza akan mengalah seperti biasa. Lelaki itu menghela napas berat dan kembali menarik Mitha agar duduk di sebelahnya." Bicara dulu, mau kamu apa?"

"Kalau uang perusahaan belum cukup, aku bisa bantu nutup. Tapi tolong, jangan libatkan Dinda di sini atau Mas sendiri yang harus menjaganya. Dinda bisa diincar." Mitha diam sejenak, memikirkan kalimat yang akan dia lontarkan selanjutnya.

Riza diam, mencoba mengaitkan informasi yang baru saja dia terima. Namun, hanya satu kesimpulan yang dia dapatkan. "Apa kamu berpikir dia berharga, sampai aku harus peduli? Dia hanya gadis naif yang tidak tahu apa-apa."

"Mas tidak boleh bicara seperti itu. Kita punya putra, bagaimana perasaan kita sebagai orang tua kalau tahu anak kita dijelek-jelekkan?

Ayolah, bagaimana bisa perempuan di sampingnya ini berpikir sejauh itu. Namun, Riza jadi memikirkannya.

Human DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang