DS 16

75 7 1
                                    


SIDER : JOMBLO

TEKAN 🌟 SEBELUM MEMBACA, JANGAN LUPA MENINGGALKAN JEJAK SEBANYAK-BANYAKNYA

✨✨✨✨


Stevy berusaha mencerna kejadian tadi. Ia belum siap menerima keadaan mamanya yang dinyatakan kritis.

Tadi....... Semuanya baik-baik saja, Clarisa masih bisa tertawa terbahak-bahak, Wajahnya tak sepucat tadi, Clarisa masih sehat bahkan ia yang paling semangat tadi, Stevy yakin itu.

Tapi kenapa dalam sekejap, wanita itu bisa terkapar lemah. Stevy belum siap, kenapa harus sekarang, mengapa terlambat menyadari. Semua yang dilakukan Clarisa hanya untuknya.

Stevy meringkuk didepan ruangan VVIP Clarisa, ia tak kuasa melihat Clarisa yang terbaring lemah.

"Ibu kamu punya penyakit Lupus, keadaan beliau semakin parah, penyakitnya sudah berdampak pada ginjal dan paru-paru"

Sebelum melanjutkan, Wira selaku dokter yang menangani Clarisa menghela nafas berat

"Waktu ibu Clarisa mungkin sudah tidak lama lagi. Hanya kuasa Tuhan yang dapat menyembuhkannya"

Ucapan dokter tadi terus terngiang-ngiang di pikiran Stevy.

"Ibu Clarisa sudah mengidap penyakit ini selama 2 tahun. Karena penyakitnya sudah kronis, penyakit ini semacam kanker yang menyerang imun dan sendi-sendi pengidapnya"

Stevy berpikir, karena bekerja terlalu keras Clarisa tidak memikirkan kesehatannya. Hingga penyakit Lupus itu menyerangnya.

Ia menangis, menenggelamkannya wajahnya pada tekukan lututnya. Hari ini terlalu berat baginya, ia tidak mau kehilangan  seseorang untuk kedua kalinya.

Ia mengadah ke atas. Terlihat lelaki jakung, dengan hoodie hitam bertuliskan 'brandalz' di sebelah kirinya, sedang menatap dingin kearahnya. Dengan kedua tangan yang dimasukkan kedalam kantong celana yang bermerk puma, rasanya Stevy ingin memeluk dan menumpahkan segala kesedihannya.

Ia butuh bahu untuk bersandar, ia butuh pelukan untuk mengaku, artinya ia perlu seseorang menjadi tempat pulangnya. Yaitu laki-laki yang sedang menatapnya datar seraya memberikan sebotol air mineral.

"Angkasa?"

"Minum!" ucapnya ketus, bukan membenci tapi seperti itulah Cakra. Ketus, dingin, dan pelit ekspresi. Namun dibalik semuanya itu dia orang yang sangat peduli, tetapi tidak terlalu diperlihatkan. Dia masih punya rasa kemanusiaan, bahkan sangat baik. Vian Aditama mampu mendidik anaknya dengan sangat baik. Begitupun Ainun Aditama, sebagai seorang ibu yang hangat dan perhatian.

Stevy meneguk habis air pemberian Cakra. Ia terlalu lelah, matanya sembab karena menangis hingga tenggorokannya kering.

Disaat bersamaan Stevy bersyukur karena bertemu dengan Cakra. Bahkan rasa cintanya makin bertambah pada laki-laki yang kini sedang menatapnya tajam.

"Bodoh" ucap Cakra dengan ketus.

Stevy menatap tak percaya pada Cakra. Masih sempat kah Cakra mengatainya 'bodoh'. Jangan lupa, Cakra juga mengatainya 'bego' saat pertama kali menolongnya.

"Harusnya Lo lebih gesit berpikir, kalau tau nyokap Lo sakit. Otak dipakai" tukas Cakra, ia geram mengingat Stevy yang hanya bisa menangis dan tidak menggunakan otaknya, padahal ia membawa mobil akan lebih cepat mengantar Clarisa, dari pada harus menunggu ambulans.

Jangan berharap pada manusia.

Dunia itu kejam. Tidak semua orang menggunakan hati dan ketulusan, mereka perlu otak untuk menipu hati.

Diary StevyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang