22. Kencan

5.6K 350 43
                                    

"Berjuang memang bukan perkara mudah. Jika yang kita perjuangkan adalah hal yang kau anggap paling berharga di dunia. Perjuangan itu akan terasa mudah."

•••♥•••

"Senja, lo suka yang mana?"

Senja melirik sekilas Ardo yang menawarkan beberapa varian ice cream padanya. Sebenarnya, dirinya tidak terlalu berminat dengan ice cream yang Ardo tawarkan. Semanis apapun ice cream itu, tak akan bisa mempermanis kepahitan hatinya.

"Halo, Anaise Loura Senja?"

"Terserah kamu aja, Do," balas Senja cuek. Membuang mukanya ke arah lain.

Ardo sedikit terusik dengan hal itu, namun ia juga tak dapat memaksa Senja untuk selalu memenuhi keinginannya. Ia tahu, gadis itu butuh kebebasan dan tak ingin dikekang. Jadi, Ardo akan berusaha menjadi laki-laki yang pengertian.

"Pak, saya mau yang rasa coklat sama vanila-nya dua ya," ucapnya pada penjual ice cream itu dengan sopan.

Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, Ardo memberikan beberapa lembar uang pada bapak itu lalu mengucapkan terima kasih. "Ini, Ja," ucapnya pada Senja yang melamun saja.

"Ah, iya. Terima kasih, Ardo," jawab Senja dengan memaksakan senyumnya. Sudah Senja katakan, hatinya sedang pahit. Ia tidak bisa menjadi Senja yang normal.

Ardo tak mau ambil pusing, ia menggandeng tangan gadis itu membawa gadis itu menyusuri car free day yang cukup ramai. Mereka telah merubah destinasi kencan dan memilih car free day sebagai destinasi kencan mereka. Selain sangat bermanfaat untuk badan, ini cukup sangat bermanfaat untuk hubungan mereka.

"Kita duduk dulu ya." Ardo menarik lengan Senja menuju salah satu kursi kayu, meminta Senja duduk di sana. "Kita makan sambil ngobrol, ya?" tawarnya.

Senja tak menjawab memilih melahap ice cream-nya rasa manis dari ice cream cukup menenangkan hatinya. Namun, tak cukup mengurangi kepahitan hidupnya.

Yah, kenapa jadi mellow begini ya hidup Senja? Entah mengapa, padahal kan sebelumnya Senja bahagia-bahagia saja menikmati hidupnya bersama teman-teman dan keluarganya. Namun, akhir-akhir ini perasaannya memburuk. Hanya karena merasakan jatuh cinta pada orang yang tidak tepat. Rasanya memang menyakitkan, tapi seharusnya Senja tak boleh terlarut-larut dalam pahitnya.

"Ja, coba sebutin hal yang paling lo suka."

"Naga."

"Ha, naga?!" Ardo melotot menoleh pada Senja. Kenapa Senja malah menyebutkan naga? Bukannya naga sudah punah di dunia ya?

"Eh?" Senja tergelak, memukul mulutnya sendiri yang keceplosan berbicara pada Ardo. "Maaf, Do."

"Eh, iya nggak papa," balas Ardo cepat—namun, tak mengurangi rasa penasarannya. "Coba lo jelasin kenapa suka naga?"

Senja melotot, aduh—bagaimana jelasinnya? Masa Senja harus jujur kalau suka sama Pak Naga beneran kan memalukan. Eh, tapi—Ardo kan tidak tahu siapa Pak Naga. Bisa saja Senja mengarang cerita kalau Pak Naga itu mantan pacarnya. Wih, patut dicoba. Eh sayangnya, Senja tak punya dua nyawa. Kalau Pak Naga tahu—habislah hidupnya. Mending cari aman saja.

Naga Senja (Segera Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang