43. Rindu dan Sendu

4.6K 306 47
                                    

Hari-hari berlalu, keadaan pun semakin menyendu. Di balik kaca ICU, gadis itu hanya dapat melihat kekasihnya berbaring lemah dengan penuh luka yang tercipta di tubuh indahnya.

Senja masih ragu, ini adalah hari kelima di mana Naga dirawat karena terluka. Senja masih belum bisa memantapkan hatinya untuk segera bertemu Naga. Hatinya sungguh tak kuasa melihat bagaimana lemahnya Naga berbaring di atas ranjang sana.

Rasanya nyeri sekali saat melihat orang yang kau cintai tak berdaya di depan matamu sendiri, penuh luka, enggan membuka mata, tak lupa dengan alat medis yang membantu mempertahankan hidupnya.

Senja hanya bisa menangis dalam diam, tangan lemahnya yang menyentuh kaca ICU dengan begitu pelan. Ingin sekali Senja masuk ke dalam dan menemui Naga, tetapi ia belum siap melihat lebih jelas seberapa terlukanya Naga.

"Senja."

Gadis itu langsung berbalik saat suara tak asing menyapa indra pendengarannya. Ia langsung menghapus jejak air matanya saat melihat Rian dengan pakaian santainya berdiri di depannya.

"Ya?" tanyanya serak seraya membersihkan seluruh jejak air mata yang ada, Senja rasa matanya begitu sembab dan menghitam dikarenankan insomnia yang melanda, sekaligus dikarenakan kesedihan mendalam yang dialaminya.

"Apa kamu mau ikut ke kantor polisi?" tanya Rian santai dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku jaket kulit kelamnya.

"Untuk apa?" tanya Senja bingung, tidak biasanya Rian mengajaknya ke kantor polisi. Pria itu biasanya berlaku dingin padanya, dan entah mengapa sekarang rasanya sedikit berbeda.

"Untuk menemui orang yang telah menabrak Pak Naga. Bukannya kamu ingin mengetahui orangnya, dan ingin tahu hukuman apa yang pantas untuknya?"

Ya, Senja memang ingin mengetahui semua itu. Tapi, Senja agak ragu ... takutnya nanti ia berbuat berlebihan dan malah merusak suasana yang ada.

"Hmm ... sebenarnya saya ingin menemui orang itu, tetapi saya tidak yakin kalau saya bisa bersikap biasa saja," ujarnya sendu.

Kedua alis Rian terangkat, polisi muda itu mengerti perasaan gadis di hadapannya. "Kalau kamu tidak ingin menemuinya ya sudah, saya tidak akan memaksa."

Kepala Senja terangkat, ternyata Rian bukan tipe laki-laki pemaksa. "Eh, tunggu sebentar," larangnya.

Rian yang hendak pergi menoleh pada Senja dan menatap bingung gadis itu, "Ada apa?"

Senja mendekat pada Rian, "Anu ... bukannya sebaiknya Bapak mengajak Pak Raga saja, ya? Pak Raga kan kakak kandungnya Pak Naga."

"Pak Raga sedang menemani istrinya untuk periksa kandungan. Tadi, saya sudah mengatakan itu pada beliau, dan beliau meminta saya mengajak kamu," jawab Rian santai.

"Lalu, bukannya polisi itu sangat sibuk? Kenapa Bapak ke sini menemui saya dengan memakai pakaian santai pula? Apa Bapak tidak bekerja?"

Karena sering berbincang akhir-akhir ini, mereka tidak lagi seformal kemarin, dan sekarang gaya bicara mereka lebih santai. Namun, Senja tetap  memangil Rian dengan sebutan Bapak. Laki-laki itu lebih tua darinya, dan memiliki jabatan pula. Tentu tidak enak jika dirinya memangil Rian hanya dengan namanya saja.

"Saya libur, karena itu saya bisa datang ke sini."

Senja bingung harus bertanya apalagi pada Rian, stok diksi dan stok pertanyaan yang ingin ditanyakannya serasa musnah begitu saja. Gadis itu bahkan berulang kali mengerutkan keningnya untuk memikirkan sesuatu yang patut ditanyakan.

"Apa tidak ada yang perlu ditanyakan lagi? Kalau tidak, saya akan pergi."

"Tidak. Tapi, saya akan ikut dengan Bapak. Tidak apa-apa, 'kan?"

Naga Senja (Segera Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang