37. Kebenarannya

5.1K 378 88
                                    

"Senja?"

Gadis itu tetap setia dalam tangisnya, lidahnya kelu untuk mengucap sepatah kata pun. Tangisnya meredam semuanya, dan membuatnya tampak sangat terluka.

"Anaise Loura Senja. Dengarkan saya!" Naga menangkup wajah Senja lembut, jari-jemarinya kembali mengusap jejak air matanya yang kembali tercipta.

Isakan Senja masih terdengar begitu kencang, bahunya masih gemetar. Senja tak kuat menahan semuanya ... sakit sekali astaga.

Naga mengangkat tubuh Senja dengan kedua tangannya. Dengan pelan, ia menggendong tubuh Senja ala bridal style. Senja yang lemah hanya melingkarkan kedua lengannya di leher Naga, dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang Naga. Gadis itu kembali menangis dengan isakan kencang.

Laki-laki itu menaruh tubuhnya di atas ranjang dengan posisi duduk. Lalu, ia bersimpuh di hadapan Senja. Senja menunduk dalam, kedua matanya begitu sayu bahkan memerah karena terlalu lama mengeluarkan air mata.

Naga menyentuh kedua telapak tangan Senja lembut, menggenggamnya erat, ia juga memberikan usapan lembut di punggung tangan kekasihnya itu. Tidak ada penolakan dari Senja, karena itu semuanya lancar begitu saja.

"Senja, boleh saya berbicara?" tanyanya lembut. Mendapat anggukan kecil dari Senja membuat hatinya lega. "Aku akan menjelaskan semuanya kalau perlu. Tapi, sebelum itu ... kamu sakit hati karena apa?"

Gadis di hadapannya malah memalingkan muka, enggan menatapnya. "Bukannya tadi saya sudah bilang ya, Pak?"

"Bilang apa? Kamu bilang saya mengkhianati kamu ... padahal itu tidak benar. Kamu bilang saya menghamili perempuan lain ... pemikiran buruk dari mana itu?" terang Naga penuh kesabaran.

Senja berbalik menatap Naga emosi, "Pak, sudah jelas semalam ada perempuan yang datang mengaku hamil pada Bapak. Apa itu bukan namanya pengkhianatan? Saya yakin perempuan itu hamil anak Bapak. Bapak tidak usah mengelak lagi."

Astaga! Kenapa pemikiran Senja bisa sesempit itu? Naga pusing jadinya. Mau tak mau ia harus menyabarkan hatinya dan menjelaskan semuanya pelan-pelan pada Senja.

"Apa dia bilang kalau janin yang dikandungnya itu adalah anak saya?"

Gadis itu terdiam, mengingat kejadian semalam. Kedua bola matanya melebar, "Tidak," jawabnya kemudian. "Dia memang tidak bilang, tapi dia begitu genit dan manja pada Bapak, bagaimana saya tidak merasa begitu? Bapak juga hanya diam saja, bagaimana saya bisa berpikiran positif? Sementara itu Bapak juga bilang saya hanya mahasiswa Bapak. Bukankah itu sudah cukup untuk menjelaskan segalanya?"

Naga memijat pelipisnya, "Bisa tidak gunakan analisa kamu untuk berpikiran positif?" geram Naga. "Kenapa kamu termakan emosi hanya karena pemikiran negatif kamu? Buktinya belum ada, 'kan? Kenapa kamu men-judge hubungan saya dengan dia seperti itu?"

"Pak! Bagaimana saya bisa berpikiran baik?! Dia datang membawa kabar kalau dia sedang h—"

"Dia tidak bilang janin itu adalah darah daging saya!" potong Naga cepat. "Dia hanya bilang kalau dia hamil, garis bawahi itu! Dia tidak bilang dia hamil anak saya, ingat itu! Dia berperilaku seperti itu karena kami dekat!"

"Wow, secara tidak langsung Bapak dan dia ada hubungan spesial, 'kan?" Senja tertawa hambar, "bagaimana saya bisa berpikiran positif?"

Naga menarik napas panjang. Sabar ... menghadapi Senja perlu ekstra kesabaran. "Kami memang dekat, tapi kedekatan kami tidak seperti apa yang kamu pikirkan."

Senja terdiam, "Lalu, kedekatan semacam itu sampai Bapak menutupi hubungan kita di depannya?" tanyanya sinis.

"Kamu yang meminta backstreet karena itu saya bilang kamu mahasiswa saya, dan itu benar! Kamu memang mahasiswa saya!"

Naga Senja (Segera Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang