[02] Penipu Perasaan

201 90 161
                                    

Perlukah semua orang tau bahwa hati yang sedang kacau ini sebenarnya adalah penipu perasaan? Bukan. Jia bukan bermaksud menipu seperti itu, ia hanya tidak ingin ditodongi banyak pertanyaan kalau saja dirinya bilang tentang perasaannya kepada mereka. Memangnya kalau ia bicara juga apa ada yang peduli? Tidak perlu berpikir yang jauh-jauh, karena logika Jia hanya seputar kalimat 'nggak ada orang yang betul-betul peduli, adanya orang yang penasaran.'

"Woy! Ngelamun lagi lo Ji? Kesambet lo ntar," ucapan Depi menyadarkan Jia pada realita. Pertimbangannya yang ingin sekali bercerita kepada teman-temannya soal hati dan pikirannya kini membuatnya kembali pada jawaban sama seperti kemarin-kemarin. Mungkin menyimpan perasaan sendiri lebih baik daripada harus menerima pertanyaan-pertanyaan itu.

Seperti biasa respon Jia hanya santai. "Nggak. Orang cuma lagi rileksasiin mata." Lalu Jia menambahkan sedikit guyonan. "Capek kalo terus-terusan dipake buat lihat realita yang nggak sesuai sama ekspektasi."

"Kayak yang onoh ya?" Jeje bertanya sambil melirik ke arah pintu kelas.

Pemandangan lumrah kembali terjadi, dimana Juan dengan para pengagum yang selalu saja merusak pemandangan sedang ribut di luar.

Hidung Jia berkerut disertai gelengan kepala. Ia tidak setuju dengan pernyataan berkode Jeje barusan.

"Masa?" Jeje tampak tidak percaya, diikuti Depi yang memasang mata penasaran pada wajah yang pandai memanipulasi perasaannya itu.

Namun rasa penasaran mereka tidak terjawab karena Jia hanya membalas dengan mengendikkan bahu. "Terserah."

"Ini lah yang gue sebelin dari lo; susah banget buat dibaca." Tutur Depi.

"Makanya gue ngincer dia dari dulu," sahut Juan yang rupanya sudah terbebas dari gerombolan fans-nya.

"Tapi nggak dapet-dapet!" Suara tawa Jeje menggelegarkan seisi kelas. Bahagia sekali dengan fakta yang ia ucap barusan.

"Sst... congor lo Je!" Juan memperingatkan. "Lagian kawan lo yang aneh nggak mau sama cowok kayak gue,"

Alis Jia terangkat sebelah lalu matanya berputar. "Cowok kayak lo, kayak mana maksudnya?" Tanya Jia sembari sok menyibukkan diri dengan novel yang sejak tadi sudah ada di tangannya.

"Ya... ganteng, banyak yang suka, fans dimana-mana,"

"Trus, kualitasnya lo apa?" Potong Jia dengan mata masih menatapi bacaannya.

"Waduh, kalo udah gini gue angkat tangan deh, nggak mau ikut-ikutan." Ucap Jeje membuat Depi tertawa melihatnya.

"Harusnya lo mundur teratur aja Wan, Wan!" Depi menertawai raut Juan yang masih saja sok cool dan merasa bisa mendapatkan hati temannya suatu saat nanti.

"Asyik bener ketawanya, ada apaan sih?" Biyu yang baru datang langsung duduk di atas meja yang berada di seberang meja Jia.

"Nih, kawan lo nih! Udah ditolak secara nggak langsung masih pantang mundur juga." Dua teman cewek Jia itu terkekeh lagi.

"Lihat aja nanti," yakin Juan kepada mereka yang meragukan dirinya.

"Gimana nggak ditolak kalo sikap lo masih kayak gitu? Sukanya godain adek kelas," tambah Biyu.

Jia yang menjadi topik utama masih diam karena pertanyaannya belum dijawab oleh Juan.

"Itu doang? Cuma gegara gue suka godain adek kelas jadi lo nggak mau nerima gue, Ji?" Jia justru diberi pertanyaan balik oleh Juan.

Bukan Jia, melainkan Biyu yang menjawab. "Lo suka mainin cewek bego Wan, mana Jia mau sama lo?"

"Gue nanya anaknya bego! Kenapa lo yang jawab?!" Juan melotot ke Biyu lalu kembali menatap Jia. "Emang gitu, Ji?"

Stone ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang