[04] Juan Kedua

155 78 96
                                    

Jiwa yang baru saja terbangun dari alam mimpi itu tengah meregangkan ototnya. Mulutnya terbuka lebar dengan tangan yang ia gunakan untuk menutupi karena menguap. Jia memaksakan raganya bangkit dari tempat tidur meski tidurnya kurang karena semalam ia banyak menghabiskan waktu bersama anak-anak.

Jia segera berberes. Mulai dari merapikan ranjang, menyapu lantai kamar, dan kini saatnya ia mencuci pakaian kotornya. Sebelum keluar kamar, Jia sempatkan diri untuk ke toilet yang berada di dalam kamarnya. Membasuh wajah dan menggosok giginya terlebih dahulu sebelum akhirnya ia berada di halaman belakang untuk mencuci pakaiannya seperti sekarang.

Pak Naryo, sopir keluarga yang sudah lama bekerja di rumah ini seketika mendekat saat melihat Jia yang sedang sibuk memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci.

"Lho Nduk, udah pulang?" Tanya Pak Naryo, teman berbincang Jia selama ini.

"Udah Pak, semalem." Kata Jia menoleh sejenak lalu melanjutkan kerjaannya.

"Healah, Ibu nyariin Nduk." Beritahu Pak Naryo. Refleks Jia mengerutkan dahi. 'Sejak kapan?'

"Ada apa emang Pak?" Tentu Jia penasaran. Suatu hal yang jarang sekali terjadi.

"Waduh, Bapak nggak tau Nduk. Coba ditanya langsung,"

Bertanya? Haruskah?

Jia berpikir sesaat sebelum menjawab Pak Naryo. "I... iya Pak, nanti Jia tanya Mama."

Pak Naryo mengangguk. Selang berapa menit ia mendekati Jia, mengusap puncak kepala Jia. "Jangan kabur-kabur lagi ya, Nduk. Bapak khawatir kalo sampe anak wadon Bapak kenapa-napa."

Selain Tante Mira dan anak-anak, Pak Naryo adalah salah satu alasan Jia masih bertahan untuk tinggal di sini. Tidak mungkin Jia meninggalkan Pak Naryo, karena sebaliknya. Pak Naryo pun tidak pernah ingin melihat Jia merasa sendirian. Dari sosoknya lah Jia tau rasanya kasih sayang seorang Ayah. Ya, karena Jia kehilangan sosok itu sejak berusia 2 hari dan tidak ada yang pernah menceritakan tentang kronologis mengapa Ayahnya bisa meninggal. Semua selalu bungkam ketika ditanya. Ketika bertanya pada Mamanya, Jia selalu mendapat jawaban yang menggetarkan hatinya. "Papa meninggal karena kamu!"

Ah, sial! Selalu saja terjadi ketika ada seseorang yang mengelus kepalanya, secara spontan air mata Jia lolos begitu saja.

Sebelum Pak Naryo bicara Jia dengan cepat mendahului. "Nggak kenapa-napa. Jia cuma kangen Papa." Semacam sebuah jurus yang dapat membuat Pak Naryo terdiam seribu bahasa.

Pak Naryo kembali mengelus kepala Jia sembari tersenyum miris sebelum pergi karena harus mencuci mobil. Sementara Jia menunggu mesin cuci selesai menggiling pakaiannya, ia ingin menemui Mama-nya dulu. Siapa tau ada hal penting yang perlu dibicarakan.

"Kenapa Ma?" Tanya Jia ketika menemukan Mama-nya tengah menonton TV di ruang keluarga--yang sebenarnya tidak tau apa gunanya disebut begitu.

Irene mendongak sambil melirik sinis putrinya. "Oh, masih ingat pulang rupanya?"

"Jia cuma pengen tanya kenapa Mama cari Jia?" Tegas Jia tidak mau bertele-tele karena kalau tidak, bisa-bisa telinga Jia tuli oleh semua ucapan caci maki Mamanya.

Bukannya menjawab, Irene justru melanjutkan topiknya. "Gimana acara kaburnya? Sukses?"

Jurus yang selalu dipakai Jia pun keluar. Dengan berusaha tidak mendengar apalagi harus peduli dengan ucapan Mamanya, Jia lebih memilih menghilang dari tempat itu. Meski ia tidak mendapat jawaban dari apa yang ia pertanyakan.

Di lain sisi, Juan mendadak kaget oleh getaran ponselnya sendiri yang ia taruh di saku celana jeans-nya. Segera ia meraih benda itu dan melihat panggilan yang rupanya berasal dari Gilang.

Stone ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang