[05] Kisah si Pemberani

152 72 76
                                    

Petikan senar gitar mengalun merdu lewat jari lentik Gilang. Cowok itu sedang memainkan gitar milik Juan tanpa bernyanyi sembari menunggu sang pemilik rumah kembali dari dapur.

"Sorry cuma ada ini, stok makanan gue terbatas." Juan menata chiki-chiki yang ia ambil dari dapur. Tak lupa ia sodorkan kopi instan kotakan ke meja dekat Gilang.

"Nggak papa, Bro. Santai!" Gilang menghentikan permainan gitarnya sesaat. Mengeluarkan rokok dari sakunya lalu menawarkan Juan. "Rokok?"

Juan menggeleng. "Nggak. Nggak sehat kalo kata Jia."

Mendadak rokok yang baru saja membara itu menggantung di depan bibir Gilang. "Kenapa gitu?"

"Gue pernah nanya ke dia Bro, dia bilang 'terserah' tapi ternyata dia selalu ngejauh setiap gue ngudut. Dia nggak bilang jangan karena menurut dia, apa pun pilihan gue ya terserah gue. Tapi gue nggak suka sikap menjauhnya dia. Trus pas dia gue suruh jujur, ternyata dia nggak bisa kena asap dan bener dia bisa sampe batuk-batuk kebangetan gitu. Besoknya radang tenggorokan. Bisa sampe segitunya dia? Gue pun heran." Jelas Juan mengenai alasan mengapa ia sudah berhenti merokok, padahal kalau diingat-ingat dulu Juan lah yang mengenalkan rokok kepada Gilang. Namun saat itu situasinya berbeda. Saat itu Juan dalam keadaan terpuruk sehingga ia berani mencoba-coba meski dirinya baru menginjak empat belas tahun.

Gilang yang mendengarkan Juan secara seksama tiba-tiba mematikan rokoknya dan menaruhnya ke asbak. "Dia bener. Rokok bikin kita nggak sehat."

"Jia emang selalu bener!" Bangga Juan.

Jari Gilang kembali memetik senar sembari memberikan Juan pertanyaan. "Lo banyak berubah karena dia ya?"

Senyum Juan mengembang disertai anggukan. "Dia yang terbaik, Bro. Hebatnya dia, tanpa minta banyak ke gue, tanpa ngelarang-ngelarang gue, dia bisa buat gue berubah. Padahal dia nggak nuntut apa-apa ke gue."

"Kali lo jatuh cinta, Wan." Ujar Gilang diselingi petikan gitarnya.

"Gue juga mikirnya gitu."

Tangan Juan meraih salah satu chiki di meja. Masih dalam angan memikirkan Jia, ia membuka bungkus lalu memakannya perlahan.

"Bisa ya lo berubah karena cewek? Sejak kapan?" Ntah mengapa Gilang seperti ingin tau. "Hmm... maksud gue, lo kok bisa gitu, kayak seserius itu sama cewek? Ya, gue tau lo lah. Nggak bisa stuck di satu cewek. Tapi gue nggak pernah kepikiran kalo lo bisa tiba-tiba kayak gini."

"Sejak dia dengan berani ngebela gue di depan Ayah. Dia...

Saat itu umur Juan 13 tahun ketika ia di panggil oleh Ayahnya karena melakukan hal yang menurut ayahnya salah. Padahal menurut Juan selagi ia tidak terjerumus pada hal-hal yang tidak baik, maka itu fine-fine saja. Dan dari situlah Juan merasa kalau ayahnya berlebihan.

"Ngapain tadi siang kamu malah ngamen di jalanan? Siapa yang suruh?" Ketegasan Ayah Juan membuat anaknya bergidik ngeri.

"Nggak ada yang suruh Yah, Juan cuma iseng sambil main-main aja sama mereka."

"Iseng?! Pulang sekolah itu ke rumah bukannya malah ngamen nggak jelas di jalanan gitu. Kamu di sekolahin biar pinter malah pilih temen nggak berpendidikan gitu. Gimana kamu besar nanti kalo bergaul sama mereka terus? Mereka itu anak nakal! Ayah tau kok, mereka itu kecil-kecil gitu udah pada ngerokok."

"Juan cuma sekedar temenan doang kok sama mereka. Juan juga nggak ikut-ikutan ngerokok bareng mereka."

"Sekarang kamu bilang nggak ngerokok, besok bisa aja kamu nyoba-nyoba kan? Terus setelah itu apa? Kamu bakal nyoba yang lebih lagi. Kamu nggak mikir jauh! Kamu itu cuma anak kecil yang masih butuh arahan. Di kasih fasilitas yang bagus malah main sama anak minta-minta. Mau jadi apa kamu kalo terus-terusan main sama anak nggak punya masa depan kayak mereka?"

Stone ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang