[18] Sebuah Rasa

66 25 91
                                    

Vote dulu sebelum membaca hehe😆

Jangan lupa share cerita ini ke kawan2mu ya gengs😊

Find me on instagram : @geminiestory.ark
.
.
.

"Ji," Tante Mira menggoyangkan bahu Jia pelan. Berusaha membangunkan ponakannya yang masih terlelap. "Bangun! Ada temenmu tuh nyariin."

"Siapa?" Tanya Jia dengan mata tertutup.

"Juan." Jawab Tante Mira.

Mata Jia sontak terbuka. Ia ingat hari ini ada janji untuk ziarah ke makam Firli. Lagi pula kenapa Jia harus bertanya siapa yang datang kalau teman yang tau rumah Tantenya hanya Juan?

"Iya, Tan. Suruh tunggu bentar gitu," pesan Jia.

"Kok lemes amat sih, Ji? Kenapa? Sakit ya?" Tangan Mira menghangat saat ia tempelkan ke dahi Jia. "Ya Allah, kamu anget gini lho badannya. Tante suruh pulang aja ya si Juan?"

Jia segera bangkit dari tidur. "Jangan Tan, Jia nggak papa kok. Cuma pusing aja kepalanya. Suruh aja Juan tunggu bentar, Jia mau mandi dulu."

Kemudian Jia melangkah menuju kamar mandi dan Mira pun keluar untuk menemui Juan lagi. Sejenak menemani teman ponakannya selagi Jia masih sibuk di kamar mandi.

"Bentar ya Nak, Jia nya lagi mandi."

"Iya, Tante." Balas Juan tersenyum ramah.

Setelah mengunci pintu Jia mengarah ke wastafel, ingin membasahi wajahnya. Ntah mengapa pening yang menerjang kepalanya membuat penglihatannya menjadi gelap. Tubuhnya pun gemetar. Untung dengan sigap kedua tangan Jia memegang tepi wastafel sambil menunduk.

Tak lama, matanya pun kembali bisa melihat dengan jernih lagi. Dan hal pertama yang ia lihat adalah cermin. Jia terkejut melihat darah yang keluar dari hidungnya. Segera ia membuka keran dan membersihkan sembari terus menunduk agar darahnya lekas berhenti.

Duh, pake mimisan lagi! Batin Jia masih merasa pening walau tidak seberat tadi.

Air keran terus mengalir sampai darahnya berhenti keluar lalu Jia bergegas membersihkan diri menggunakan air hangat.

***

Jia dan Juan sudah sampai ke makam Firli. Mereka berdua sama-sama membersihkan makam berbatu nisan Firliandra bin Zainal itu sebelum akhirnya berdoa sekaligus mencurahkan segala permintaan maaf karena Juan baru tahu soal kematian Firli sekarang. Kalau saja dulu ia tidak mengikuti perintah ayahnya, pasti Juan bisa menolong Firli dari tragedi mengenaskan itu. Kalau saja dulu Juan ada di tempat kejadian perkara, mungkin Juan bisa memberitahu kepada orang-orang di sana kalau bukan Firli pelakunya. Semestinya Juan ada di sana membantu Jia bersuara. Sudahlah, mungkin ini memang suratan takdir untuk Firli. Mungkin hari terakhir pertemuan mereka merupakan jalan terbaik agar Juan tidak terlalu bersedih hati jika saja tau soal ini sejak dulu.

"Sorry Fir, baru bisa ke sini sekarang. Lo apa kabar? Semoga selalu baik ya di sana. Semoga lo mendapat ketenangan di alam lo yang sekarang. Adik lo di sini baik Fir, sekarang dia tinggal di rumah Oma. Jangan terlalu cemasin dia, lo kan dulu sukanya gitu. Terlalu mikirin orang lain tanpa tau kalo lo sendiri punya banyak beban. Tapi tenang Fir, ada Juan ganteng di sini. Hahaha ....

"Kalo lo di sini pasti lo langsung ngelak tentang kegantengan gue, tapi sekarang nggak bisa ya?" Juan tersenyum miris mengenang almarhum sahabat masa SMPnya. "Makasih udah banyak ngajarin gue tentang hidup Fir, gue jadi tau segala hal yang dirasain sama orang-orang sekarang. Makasih udah mau berbagi adik lo sama gue sekarang, padahal mah jaman dulu mana mau lo ngasih gendong gue Fina? Lo takut Fina malah lebih deket ke gue daripada elo. Tapi sekarang dia udah gede Fir, lo pasti bangga sama dia yang dengan tegar masih berdiri kokoh untuk ngumpanin hidup dia sendiri.

Stone ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang