Ketuk bintang sebelum membaca ya gengs😆👍
Find me on instagram : @geminiestory.ark
.
.
."Dara..."
Mendengar suara Gilang refleks Jia berdiri. Mendadak suasana makan mie dengan bayang-bayang lamunannya lenyap begitu saja oleh kehadiran Gilang. Jia terlihat kebingungan sebelum akhirnya dapat mengendalikan jantungnya yang syok.
"Lo...? Bolos lo ya?!" Tuduh Jia begitu saja.
"Lo juga sama. Ngapain di sini?" Gilang mendekat. Duduk di bangku panjang yang juga ditempati Jia.
"Seharusnya gue yang nanya. Ngapain lo di sini?" Jia masih bingung. Kepalanya menunduk menatap Gilang yang berada di sebelah kirinya.
"Nyariin lo." Singkat Gilang yang dengan santai mengambil minuman Teh Gelas yang tertata di meja panjang milik kedai berterpal biru.
"Lo nggak boleh ke sini. Ini bukan tempat lo." Ucap Jia keluar dari bangku dan membayar mie yang masih setengah mangkuk itu. Sementara Gilang masih asyik menyedot minuman gelasnya di bangku.
"Dar... ini tempat umum kali!" Gilang terkekeh.
Namun ketika melihat Jia yang ingin kabur, segera Gilang bangkit untuk mengejarnya. "Eh, mau kemana?"
"Mas, bayar dulu!!" Teriak pemilik kedai yang hampir rugi seribu rupiah itu.
Selagi Gilang menunggu kembalian, Jia terus mempercepat langkahnya. Seharusnya Gilang jangan sampai bertemu Jia di tempat itu. Sangat berbahaya jika segalanya terbongkar. Jia takut bila satu rahasianya terbongkar maka rahasia lain lambat laun akan menyusul ke permukaan. Ia sangat tidak ingin itu terjadi.
Jia hanya... tidak ingin semua orang tau tentang deritanya lalu pergi begitu saja setelah mengerti apa yang ia sembunyikan mati-matian di balik topeng batu yang sangat diagung-agungkan oleh semua orang itu.
Di perempatan rambu lalu lintas Jia menyeberang dan berbelok ke arah selatan. Sialnya, langkah panjang kaki cowok di belakangnya rupanya cukup cekatan. Tiba-tiba saja ia sudah ada di samping Jia.
"Huftt... huh... huh... lari gue cepet juga ya? Bisa lah gue masuk STAN. Iya, nggak?" Guyon Gilang memainkan alisnya ke Jia yang beraut tidak peduli. Ia sekarang malah mengganti jalan cepatnya menjadi berlari. Tentu dengan bermodalkan kaki panjang sangat mudah untuk Gilang mengekori di belakang.
Jia yang tadinya ingin kembali ke rumah mereka jadi terus lurus mengikuti trotoar kalau saja tidak diteriaki oleh Windy, Verdi, Kinan dan April dari seberang jalan.
"KAK JIAAA... KAK JIAAA.... KAK!"
"KAK JIAAA!!!" Mungkin awalnya Jia berpura-pura tidak mendengar panggilan itu sampai suara imut April ikut memanggilnya.
Kenapa mereka sampai berteriak kencang begitu memanggil namanya? Ada apa?
Membuat Jia berhenti dan kembali ke belakang. Hampir saja Gilang tidak bisa mengerem kakinya, jadi lah ia memilih putar balik. Masih tetap di belakang Jia.
"Lo kenal mereka?" Tanya Gilang dari balik tubuh Jia.
"Bukan urusan lo!" Jia tambah mempercepat larinya menuju rumah ketika Gilang justru berhenti saat mendengar ucapannya.
"Mulai sekarang jadi urusan gue." Ujar Gilang mengendikkan bahu menyusul Jia yang sudah masuk ke dalam sebuah gedung kumuh.
"Kenapa?" Tanya Jia kepada empat anak itu. Namun mereka tidak menjawab, melainkan melirik ke 3 orang bapak-bapak yang baru saja keluar dari rumah mereka. Salah satunya berbaju rapi dan berdasi, sementara yang lain berbadan kekar.
"Kenapa, Win?" Ulang Jia.
"Kak..." Windy agak ragu melanjutkan kalimatnya. Ia malah melirik kesana kemari.
"Kenapa?"
Pandu yang baru datang langsung menjelaskan. "Kak, mulai besok kita udah nggak bisa tinggal di sini lagi. Kata bapak-bapak itu pabrik ini mau dirobohin dan mereka bakal bangun gedung baru di sini."
"Hah?" Jelas saja Jia melongo. Lalu mau kemana lagi mereka setelah ini?
"Mas Pandu, berarti kita mau pindah kemana?" Sela Diki yang masih memegang ukulele bututnya. Membuat Pandu menunduk melihatnya dan menggeleng. Pandu pun tidak tau harus kemana ia pergi, apalagi mereka yang masih pada kecil-kecil.
Tangan Jia tergerak untuk menggaruk kepala yang otaknya hampir saja copot. Tuhan kali ini mengujinya bertubi-tubi. Masalah kehidupannya belum kelar, sekarang ada lagi beban yang harus ia tanggung.
Ketika tangannya digenggam oleh si imut April, beban Jia terasa berkurang. Yang tadinya kepalanya berat oleh pikiran, kini sudah meringan. Genggaman April menguatkannya. Memberinya semangat dan juga kekuatan kalau tidak hanya dirinya yang sedang berdiri untuk mereka. Tapi mereka sama-sama berdiri untuk satu sama lain.
Jia merendah. Menyamakan tubuhnya dengan tinggi April lalu mengelus puncak kepala anak itu. Jia memang tidak sendiri, anak-anak itu bersamanya.
"Malem ini kita masih bisa tidur di sini. Besok pagi kita baru pergi. Kakak bakal cari tempat baru untuk kita tinggal." Jia kembali bangkit. Selesai berucap ia menoleh ke arah Gilang. Sudah tidak peduli lagi dengan pertanyaan yang sudah pasti akan dilontarkan Gilang kepadanya. Namun sebelum itu ia berpesan kepada Gilang yang masih linglung dengan perbincangan mereka. "Lo cukup tau aja. Nggak usah banyak cingcong kemana-mana."
Itu saja pesan Jia. Ntah Gilang menepati atau tidak, terserah pada cowok itu. Intinya kalau Jia kecewa, jangan harap ia akan menoleh pada titik yang sama.
"Gue bisa jaga ini." Ucap Gilang mengikuti Jia yang masuk lebih dalam ke pabrik kumuh itu.
"Mau nggak mau gue harus percaya sama lo saat ini. Nggak ada pilihan lain."
Jia meraih ponsel dan tasnya. Ia harus kembali malam ini. Tapi sebelum itu ia harus cari tempat tinggal baru untuk mereka.
"Tapi kenapa lo bisa tinggal di sini?" Tanya Gilang yang dibalas senyum simpul oleh Jia.
"Lo nggak perlu tau tentang kami. Yang lo harus ngerti cuma Cukup Tau Aja." Jelas Jia selesai mengecek barang-barang di tasnya.
Gilang pun bungkam. Kepalanya hanya mengangguk pasrah. Dari mata yang ia baca ini, penuh sarat arti yang ingin sekali ia ketahui. Seseorang yang ada di hadapannya sekarang berbeda. Terlalu banyak tekanan dalam dirinya sehingga sulit untuk Gilang tau segalanya.
Telepon Gilang berdering saat Jia tengah mengajak ngobrol anak-anak itu. Tentang strategi mereka yang akan pindah esok pagi. Apa saja yang harus mereka lakukan dan jangan sampai ada barang yang tertinggal. Sekalipun itu sampah dari bekas jajanan mereka.
Karena menurut Jia, mereka di sini hanya menumpang tanpa bayaran. Walau pun orang-orang itu selama ini tidak tau keberadaan mereka yang tanpa izin tinggal di sana, setidaknya mereka tidak diusir paksa begitu saja. Bahkan dengan adanya uluran waktu sampai besok saja itu sudah cukup untuk otak mereka berpikir bahwa orang-orang itu masih berbaik hati.
"Iya... gue ketemu." Ujar Gilang membalas pertanyaan Juan di seberang telepon. "Gue shareloc," lanjut Gilang masih tersenyum menatapi Jia yang dengan penuh kasih sayang membelai anak-anak jalanan itu satu persatu.
'Cewek ini sungguh mulia hatinya, tidak salah jika Juan sangat mencintai dirinya.' Batin Gilang menurunkan ponsel dari telinganya.
"Bener kata lo Wan, kalo malaikat bisa tiba-tiba turun di waktu yang nggak gue sangka. Ternyata dia nggak hanya sekedar bidadari, tapi juga malaikat bagi anak-anak itu dan gue." Gilang pun tambah melebarkan senyumnya.
Tbc?
***
Nggak tau ngapa part ini bikin author senyum tapi kek ada sesuatu yang ngeganjal gitu. Sama kek senyumnya Gilang pas natapin Jia yang lagi bareng anak-anak☺
Makasih udah mau baca, Vote, apalagi KOMEN. Makasih banget:))
Jadi keterusan deh senyum ini☺☺☺☺☺☺☺
KAMU SEDANG MEMBACA
Stone Cold
Teen FictionRazia Aviari pernah bertanya--mungkin sering-- pada langit gelap berbintang bisakah ia dicintai oleh keluarganya? Karena sejauh ini, dirinya hanya sibuk berlagak seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Menjadi dingin, dan bahkan tidak peduli pada apa p...