🌻19

40 7 0
                                    

[Lanjutan Pram-Side story]

Jillian mengatakan jika hari ini dia akan terlambat pulang. Namun, sudah hampir jam 10 malam, wanita itu tak kunjung datang menjemput putrinya yang kini sudah terlelap di kamarnya.

Jika memang ada urusan mendadak yang mengharuskan pulang terlambat, biasanya Jillian selalu mengabari. Setidaknya dengan begitu Pram tidak perlu khawatir dan bisa tidur dengan tenang. Biar saja April menginap di rumahnya. Toh biasanya juga seperti itu ketika Jillian sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota.

Bahkan ketika Jillian mau pun Maya libur, anak-anak lebih memilih menginap di rumah Pram, atau berkunjung ke bengkel dan berakhir membuat Yuta naik darah dengan kelakuan tiga bocil menyebalkan itu.

Pram mencoba menghubungi Jillian, memastikan keadaan wanita itu baik-baik saja.

"Maaf, nomor yang Anda tuju---

Mendapati ponsel Jillian tidak aktif membuat Pram semakin berprasangka buruk.

Sudah seminggu berlalu, namun Jillian tak kunjung kembali. Ponselnya masih belum aktif. Pram sudah mencoba lapor ke polisi serta perusahaan tempat Jillian bekerja. Maya dan Yuta juga ikut mencari. Namun sampai saat ini belum juga ada hasil.

"Paman... Mama kok belum pulang?"

"Mama sedang pergi ke luar kota, sayang. April tidak apa-apa kan kalau menginap di rumah Paman sehari lagi?"

"Ay ay, kapten!" Bocah berusia empat tahun itu malah berseru girang. "Ajak Senja dan Angin menginap juga ya, Paman. Nanti April akan menyuruh mereka membawa tenda juga. April mau mengajak mereka kamping!"

Pram mengangguk seraya mengulas senyum, meski dalam hati sudah ketar-ketir.

Sudah satu tahun berlalu, namun masih belum ada kabar mengenai Jillian. Hingga...

Mulai sekarang, jangan hubungi aku lagi! Aku sudah bahagia dengan suamiku. Selamat tinggal Pram.

Pram mencoba menghubungi Lian, namun ponsel itu sudah tidak aktif. Padahal baru saja dia menerima pesan dari wanita itu.

"Suami? Siapa? Loga?"

Merasa ada yang mencurigakan, akhirnya Pram pergi menemui Loga untuk memastikan, dengan membawa April ikut bersamanya.

"April tunggu di sini sebentar ya. Paman tidak akan lama."

April mengangguk patuh, menurut perkataan Pram yang menyuruhnya tetap berada di dalam mobil.

Pram melangkah masuk karena kebetulan gerbang rumah tersebut sudah terbuka lebar.

Jika tidak melihat secara langsung dengan kedua matanya sendiri, mungkin Pram tidak akan percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Jillian tampak bahagia hidup bersama Loga. Tidak merasa sedih atau pun bersalah karena sudah meninggalkan April tanpa penjelasan.

Dalam pikiran Pram, mungkin mereka kembali rujuk, terbukti dengan Loga yang nampak begitu perhatian pada Jillian, dan wanita itu juga tak terlihat risih berada di dekat Loga. Ah, jangan lupakan bocah laki-laki yang berusia sekitar delapan tahun yang berada di antara mereka. Tersenyum ceria, berjalan sambil melompat girang menuju mobil. Mungkin mereka bertiga hendak pergi jalan-jalan.

"Jillian!"

Tak sadar Pram berteriak membuat Loga dan Jillian tersentak kaget, bahkan bocah laki-laki yang tadinya sedang tertawa langsung bersembunyi di belakang Jillian.

"Lian, bawa Alaric masuk ke rumah! Biar aku yang bicara dengannya."

"Tidak. Tunggu Lian! Kita perlu bicara."

"Kau bisa bicara denganku."

Loga menghalangi Pram agar tidak masuk ke rumahnya. Tidak membiarkan pria itu menemui istrinya.

"Mengapa kau begitu takut? Aku tidak akan merebutnya darimu jika dia memang sudah menjadi istrimu lagi."

Loga nampak terkejut mendengar penuturan Pram.

"Bukankah kalian sudah bercerai?"

"Kami masih saling mencintai. Saat aku mengajaknya untuk rujuk, Lian langsung menyetujui. Maka dari itu, bisakah kau biarkan kami hidup tenang? Sudah benar kau meninggalkan rumah ini, kenapa malah kembali?"

Sebenarnya Pram juga tidak mau kembali menginjakan kaki di rumah ini jika bukan karena April.

"Dengar, Pram. Aku dan Lian sudah memiliki putra. Jadi, meski kami berpisah pun, kami akan tetap terikat. Dan sekarang kami sudah bahagia. Jadi, bisakah kau enyah sekarang?!"

"Lalu, bagaimana dengan April?"

"Kau urus saja anakmu sendiri. Kenapa? Tidak mampu? Mau kubantu? Aku akan berikan sebanyak yang kau mau asal jangan pernah muncul di hadapan kami lagi."

Terlanjur sakit hati, Pram pergi begitu saja tanpa berniat memberitahu soal April. Biarkan saja.

Pram sangat menanti datangnya hari di mana Kakaknya itu akan menyesali ucapannya.

▪🌻🌻🌻▪

"Ayah."

Pram menoleh, mendapati April yang entah sejak kapan ada di belakangnya, duduk di teras sambil menatap ke arahnya. Buru-buru Pram mematikan rokoknya dengan menekannya pada pembatas pagar, lalu membuangnya ke sembarang arah.

"April ganggu ya?"

"Enggak kok, Pril. Kamu kenapa belum tidur? Besok sekolah, nanti kesiangan."

Pram yang tadinya sedang duduk di pembatas belakang rumah, kini turun. Berjalan menghampiri April kemudian duduk di sebelah gadis itu.

"Kan ada Ayah yang bangunin April."

Pram terkekeh pelan, lalu terdiam sebentar.

"April... tidak membenci Ayah?"

"Oho! Pertanyaan apa itu?"

"Soal tadi---

"April tidak penasaran."

Pram terdiam. April juga tak mengatakan apa-apa lagi. Sejenak suasana menjadi hening. Hingga...

"Ayah,"

"Hm?"

Pram menoleh, mendapati April yang sedang menatapnya sambil tersenyum manis.

"Terimakasih."

"Untuk?"

"Sudah mengizinkan April untuk memanggil Ayah. Sudah mau merawat April selama ini. Meski April belum menjadi anak yang baik, Ayah harus tahu... April sangat menyayangi Ayah. Dan April cuma butuh Ayah."

Mendengar penuturan April membuat hati Pram menghangat, tetapi juga merasa sedih di waktu bersamaan.

"Tapi, pria tadi... dia adalah Papa kandung April. April juga masih memiliki Mama, juga Kakak yang sedang menanti April. Mereka semua merindukan April."

April tak merespon.

"Bisa jadi, besok atau lusa... mereka pasti akan membawa April."

"April tidak mau!"

"April, Ayah minta maaf---

Perkataan Pram terpotong ketika April tiba-tiba memeluknya.

"April cuma butuh Ayah. April nggak mau yang lain. Jangan tinggalin April!"

Pram terpaku mendengar perkataan April. Selama ini yang biasa Pram dengar adalah kalimat perpisahan, permintaan maaf, hingga berakhir dia yang ditinggalkan.

Selamat tinggal, Pram.

"Jangan tinggalin April, Yah... April cuma butuh Ayah."

Pram tidak mampu menahan air matanya, lalu pria itu membalas pelukan April.

Pram sangat tahu bagaimana rasanya ditinggalkan. Jadi... bisakah kali ini dia bersikap egois?

IrreplaceableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang