🌻14

58 9 0
                                    

"Kapan kau akan mengusirnya? Jangan bilang, kau akan terus membiarkannya di sini dan berniat memberi tahu kepada semua orang bahwa dia juga putramu, begitu?"

"Bisa berhenti membahas anak itu?"

"Tidak sebelum aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia enyah dari rumah ini."

"Beri aku waktu. Setelah dia lulus, aku pastikan mengirimnya ke luar negeri."

"Luar negeri? Maksudmu, kau akan menyekolahkannya ke luar negeri begitu? Enak sekali hidupnya."

"Lalu apa maumu, Dira? Kau ingin aku mengusirnya ke jalanan? Menjadikannya gelandangan begitu?!"

"Iya. Memang itu yang aku inginkan. Dia berasal dari jalanan, kenapa tidak kita kembalikan ke jalanan saja? Toh, itu memang tempatnya."

"Cukup, Dira! Biar bagaimana pun, dia adalah darah dagingku."

"Itu salahmu! Jika kau membiarkan aku membuangnya ke panti asuhan waktu itu, hal rumit seperti ini tidak akan terjadi. Kau malah membiarkan pembantu kita mengasuhnya, dan dengan sok baiknya, kau juga mengakui kalau kau Ayahnya. Sejak awal, kau memang tidak pernah berniat membuang anak itu dan ingin membesarkannya, lalu kau akan menjadikannya sebagai pewaris. Karena alasan itu kau masih membiarkannya tinggal di rumah ini. Yang aku ucapkan benar kan, Saga?"

Elang yang hendak masuk ke rumah menjadi urung ketika mendengar pertengakaran sepasang suami istri itu. Ini bukan pertama kali, namun Elang masih belum terbiasa dengan rasa sakit di hatinya. Karena dirinya lah yang menjadi alasan pertengkaran tersebut.

"Ah, jangan-jangan... kau mencintai pelacur itu?"

"Kau---

Perkataan Tuan Shankara terpotong ketika melihat Elang yang masih mengenakan seragam sekolahnya, berjalan melewati mereka begitu saja.

"Lihat bocah itu, jam segini baru pulang. Kerjaannya keluyuran, membolos, tidak memiliki prestasi apa pun. Bukannya berterimakasih sudah dibesarkan, malah bertindak seenaknya. Sia-sia saja kau menyekolahkannya. Di masa depan pun, dia tidak akan berguna."

"Lagi-lagi, lo menjadi penyebab mereka ribut."

Elang yang hendak menggapai gagang pintu seketika berhenti mendengar ucapan Aaron.

"Nggak pernah ada niatan kabur apa? Kek betah banget di sini padahal nggak ada yang nganggep lo ada."

Tidak mau mendengar lebih banyak lagi, Elang masuk ke kamar dan mengunci pintu.

Pemuda itu mengambil handuk, kemudian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badannya.

Begitu selesai dan berganti pakaian, Elang membaringkan tubuhnya ke kasur. Pemuda itu meringis ketika merasakan pinggangnya masih nyeri karena kejadian tadi di sekolah.

"Keknya Habanero beneran make seluruh kekuatannya, pinggang gue ampe encok begini."

Pemuda itu malah terkekeh, lalu netranya tak sengaja melihat stiker bergambar karakter utama Novel Kakashi Hidden: Petir di Langit Dingin, Hatake Kakashi.

"Gue cop dulu!"

"Gue duluan yang ambil."

"Tapi gue dulu yang lihat. Lo anak baru kan? Gue udah menjadi pelanggan tetap di toko komik ini."

"Bodo amat! Siapa cepat dia yang dapat."

"Hari ini gue ulang tahun."

"Terus? Kayak gue peduli."

Elang terkekeh, kenangan pertama kali bertemu April di toko rental komik adalah hal yang selalu membuatnya terhibur. Kejadian itu sekitar tiga tahun lalu, mungkin saat itu dirinya masih duduk di kelas 2 SMP.

Elang bahkan sampai melaminating stiker itu agar tidak mudah rusak, lalu menempelnya di langit-langit kamarnya, bertujuan agar dirinya bisa selalu melihatnya sebelum tidur.

Hanya karena stiker, mereka sampai berkelahi di toko rental komik.

"Ribut sekali lagi, gue sumpahin kalian jodoh!"

Perkataan Jake waktu itu membuat Elang dan April yang saling menjambak seketika berhenti.

"Oho! Malaikat udah nyatet, dan kalian udah dikonfirmasi bakalan jodoh. Valid, no debat!"

"Eh? Apaan?! Siapa lo sampe ngebuat Malaikat ngeiyain perkataan aneh lo itu?"

"Ho'oh, dia bener. Pokoknya, semisal lo ketemu gue lagi, berarti fix. Beneran jodoh kita."

"Nggak! Gue nggak mau. Oke, stikernya buat lo aja nih, tapi cabut ucapan kalian yang tadi?! Batalin!!!"

Elang menahan diri untuk tidak tertawa ketika teringat wajah April yang begitu panik, lalu berlari ketakutan keluar toko setelah memberikan stikernya untuk Elang. Namun siapa sangka mereka kembali dipertemukan di satu sekolah yang sama ketika SMA.

"Btw, April lagi apa ya?"

Lalu tatapannya jatuh ke ponselnya yang ada di atas nakas. Buru-buru Elang meraih benda itu dan mencari nama kontak seseorang yang ia pikirkan tadi.

"Apa? Kalau nggak penting gue skip!"

"Salam dulu kek, Pril."

"Assalamualaikum ya ali kubur~"

"Walaikumsalam, jodoh~"

"Lo bersyukur karena nggak bisa gue tendang!"

"Pinggang gue aja masih encok loh, Pril. Tega lo mau buat luka baru?"

"Makanya nggak usah mulai. Buruan, ada perlu apa? Ganggu gue ngerjain PR aja."

"Ngerjain PR apa baca komik?"

"Cenayang lo?"

"Gue ada rekomendasi baru nih. Mr. Red. Masih anget, baru gue pinjem tadi."

"Serius? Gue juga lagi ngincer itu."

Belum sempat Elang menjawab, suara Pram lebih dulu menginterupsi.

"April... PR nya udah siap? Apa masih baca komik? Ayah carikan guru etika beneran nih, kalau perlu Ayah daftarin ke pesantren sekalian."

"Iya, Yah... ini lagi mau ngerjain."

"Lagi telponan sama siapa tuh?"

"Sama orang gila."

Anjir, gue dikatain gila. Untung sayang~

"Elang ya? Oi Elang! Udah kerjain PR belum? Pokoknya Om nggak bakal kasih restu kalau nilai kamu anjlok ya!"

"Idih, Ayah apa-apaan sih? Restu apaan coba?"

"Siap, Om! Elang kerjain PR sekarang. Udah dulu, ya Pril... gue mau garap tugas fisika dulu."

Lalu Elang mematikan telponnya, melemparnya ke kasur. Pemuda itu bergegas beranjak menuju meja belajarnya.

"Semangat buat dapetin restu Ayah mertua!"

Sementara itu...

"Elang ngerjain PR? Mau kiamat kah?"

.

4-11-2024

IrreplaceableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang