Chapter 15 : Ujian

6 1 0
                                    

Aku tidak mengerti apa yang membuat Alisha dan Rahl kegirangan. Mereka berdua menyebutnya Mahfuzi, buku yang mencatat segalanya. Hanya saja, Aku tidak bisa melihat apa pun di sana. Yang aku lihat hanyalah dua manusia yang kegirangan pada sesuatu yang tidak pernah ada.

~0~

Alisha sedari tadi menjingkrak – jingkrak kegirangan. Ia berkeliling sesekali untuk melihat secara menyeluruh buku jumbo yang disebut Mahfuzi itu dengan sangat bersemangat.

Reaksinya itu sangat berlebihan jika dibandingkan wanita normal. Sayang, wanita jelita ini kalau sudah menemukan sesuatu yang sangat menarik, akan terputuslah urat malunya. Paling tidak, itulah yang sering ia lakukan di hadapanku. Karenanya aku selalu bersyukur. Tindak tanduknya yang jenaka itu pasti berhasil mengurangi rasa cemas dan gerogi yang menggerayangiku.

"Ayo, Rahl!" ajak Alisha, matanya berbinar.

"Iya, iya." Aku memalingkan pandangan dan melihat tupai yang berdiam diri di belakang. "Kamu tidak ikut, Bahamut?"

" ... Tidak. Aku akan berjaga di sini. Ruangan ini masih belum tentu aman. Alisha, panggil aku jika terjadi sesuatu."

Walau wajahnya penuh dengan bulu, aku tahu kalau dia sedang mengkhawatirkan sesuatu. Entah apa, namun dia pasti sudah memikirkannya dengan matang, kurasa.

"Oke, Bahamut!" Alisha mengacungkan jempolnya.

Aku berdiri di samping Alisha. Jemarinya menggenggam erat jemariku. Aku bisa merasakan gemetar hebat darinya, namun wajahnya begitu tegar, sorot matanya sangar, tidak menampakkan rasa takut itu.

"Alisha ..."

"Rahl ..."

Tangan kami yang bebas menyentuh Mahfuzi secara bersamaan. Dalam seketika, kami langsung berada di tempat yang berbeda. Berdiri bebas di angkasa lalu turun dengan kencang secepat gravitasi yang menarik kami ke bawah.

Aku memeluk Alisha seeratnya sebelum tubuh kami menghujam lautan yang biru. Jatuh ke dalam hingga cahaya tak mampu menembus lapisannya. Tenggelam.

Aku berusaha erat menggenggam tangan Alisha. Kami berdua kesulitan untuk naik ke atas permukaan. Dengan susah payah, kepala kami berhasil muncul ke permukaan air.

Belum. Ini belum selesai.

Saat itu terjadi, gelombang tsunami pun telah menanti. Kami saling menatap dan menarik napas yang dalam untuk mempertahankan diri.

Saat tsunami itu jatuh dan menghantam, kami pun terpisahkan oleh derasnya gelombang yang ganas.

Aku terombang – ambing oleh arus yang tak kenal ampun. Hingga napas yang kutahan ini berada di titik kritis, basah yang kurasakan ini pun mengering tiba – tiba.

Kali ini dunia berubah menjadi sebuah daratan yang dipenuhi erupsi merapi. Lava yang menggelegak itu membuatku hampir kencing di celana. Bagaimana tidak? Tubuhku yang terhempas di dekat puncaknya sangat terancam akan kematian.

"Apa – apaan ini!" Aku berteriak sekerasnya. "Alisha! Di mana kau?"

Suaraku menggema sendirian. Bahkan bagi seorang jomblo sepertiku, ini sudah kelewat batas.

Namun seolah dunia ini murka, gunung yang ada di dekatku mulai erupsi. Berawal ledakan yang memuntahkan asap hitam dan debu vulkanik. Lava dan batunya juga mulai ikut dalam orkestra kehancuran. Laharnya yang mengalir ikut memburu kedua kakiku.

Astaga! Ini bukan candaan! Apa yang sebenarnya terjadi?

Padahal kami hanya menyentuh Mahfuzi, tapi malah terlempar ke tempat antah berantah seperti ini!

Shitty World and Heroes [Vol. I]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang