VOLUME I EPILOG

11 1 0
                                    

Seorang pria berambut putih yang memakai kacamata bundar tengah menikmati pemandangan laut di tepi pelabuhan. Desir ombak yang menderu menghidupkan kembali nostalgia yang lama terpendam di dalam ingatannya.

Semuanya begitu tenang hingga smartphonenya bergetar. Lelaki itu mengangkatnya dan berbicara. Tak lama, ia pun menyudahi komunikasinya dan beranjak pergi.

Lelaki itu dijemput oleh beberapa orang berjas hitam dan sangat rapi. Ia disambut hangat dan dilayani dengan baik.

Tujuannya adalah sebuah gedung yang baru selesai dibangun.

Setibanya di sana, lelaki itu disambut oleh pria tua nyentrik dengan jas lab yang mengeluarkan bau apek.

"Akhirnya Anda datang, Perdana Menteri Sumartono J. Tarigan. Saya sudah menyelesaikan proyek besar yang Anda canangkan."

"Terima kasih banyak, Profesor. Semua ini berkat Anda yang luar biasa."

"Tidak perlu berterima kasih, Pak Perdana Menteri. Karena ini adalah kerjasama antara kita berdua demi kepentingan masing – masing."

Profesor nyentrik itu menyerahkan sebuah alat transparan yang kokoh. Lebih kecil dari ukuran smartphone milik perdana menteri.

"Ini adalah remote yang mengendalikan seluruh aktifitas gedung sekaligus bukti kepemilikan," jelas sang profesor. "Semuanya ada di dalam benda kecil ini, Pak Perdana Menteri."

Sumartono tersenyum. Ia langsung memerintahkan bawahannya untuk mengeluarkan lima koper yang penuh berisi Dollar Earsyia.

"Jika ingin tambahan jangan sungkan, Profesor."

"Anda selalu memberikan lebih dari yang aku perlukan. Jika ada proyek baru, jangan sungkan untuk mengundang saya berpartisipasi."

"Kalau begitu biarkan saya masuk dan melihat mahakarya yang Anda ciptakan."

"Silakan. Nikmati sepuasnya."

Perdana Menteri menjabat tangan sang profesor dan masuk ke dalam sendirian.

Dari dalam hanya terlihat seperti gedung administrasi perkantoran pada umumnya. Namun, yang menjadi proyek rahasianya adalah ruang bawah tanah yang didesain mampu menghadapi ancaman mengerikan seperti serangan New Order.

Sudah merupakan mimpi bagi Sumartono J. Tarigan untuk membuat bunker yang tahan terhadap segala serangan. Untuk melindungi dirinya dan orang – orang penting baginya. Semua itu adalah agenda pribadi disela pekerjaannya. Rasa takutnya melihat kehancuran Pulau Leaveland membuatnya mewujudkan proyek raksasa ini secepat yang ia bisa.

Sumartono telah tiba di level terendah dan merupakan bagian teraman dari proyek ini. Meskipun di dalam tanah, ia tetap bisa melihat apa yang terjadi di luar. Didukung teknologi perpaduan Essence Stone dan Seven G membuat semua dapat dengan mudah terkoneksi.

Sekali lagi, smartphonenya bergetar. Ia langsung mengangkatnya dengen memasang raut wajah penuh harap.

"Jadi bagaimana? Apa kamu sudah temukan penyebab kawah di gurun Sahara?"

"Belum, Pak Perdana Menteri. Kami mohon maaf dan meminta waktu lagi."

"Baiklah. Silakan lanjutkan pencariannya."

Sumartono menyudahi panggilan dan menghempaskan napas panjang. Kemudian memijit keningnya.

"Sudah dua bulan berlalu. Tetapi ledakan itu masih belum ditemukan penyebabnya." Ia mendesahkan napas panjang sekali lagi. "Itu sebabnya proyek ini diselesaikan dengan cepat. Demi melindungi diriku dari marabahaya. Proyek ini adalah tempat sempurna yang mencegah siapapun untuk masuk."

Meski dia berkata demikian, ketegangan di wajahnya tetap terlihat. Ia mendesah lagi kemudian duduk di kursi nyamannya.

Ia mengeluarkan dari sakunya sebuah kotak yang berisi tembakau kering dan kertas rokok. Ia letakkan perlahan kertas rokok ke meja dan menaburkan tembakau kering di atasnya. Lalu ia melintingnya pelan hingga membentuk silindris sempurna.

Ia memasang rokok itu ke mulutnya dan memantikkan api. Setelah satu hisapan yang penuh asap, ketegangan di wajahnya memudar.

"Rokok linting memang jauh lebih nikmat."

"Benarkah itu?"

Sumartono sontak berdiri. Matanya terbelalak. Rokok yang ada di mulutnya terjatuh ke lantai. Suara yang didengarnya berasal dari dua orang yang memakai jubah cokelat dengan wajah tertutup. Keduanya tepat berdiri di hadapannya.

Ia segera memeriksa kamera keamanan yang ada di mejanya. Alarm bahkan tidak hidup sekalipun. Kengerian menyelinap masuk ke dalam batin sang pria berambut putih.

"Bagaimana mungkin kalian bisa masuk ke dalam tanpa ketahuan oleh penjaga dan sistem keamanan?" Suaranya bergetar.

"Itu hal yang mudah," jawab salah satu dari mereka. Suaranya berat. Suara seorang laki – laki.

Mendengar jawaban itu membuat seluruh angannya amblas tak tersisa. Sumartono tengah berpasrah diri.

"Apa kalian datang untuk membunuhku?"

"Anda salah sangka, Perdana Menteri Sumartono. Kami datang menawarkan kerja sama."

"Aku tidak mungkin menerima tawaran dari orang yang tidak kuketahui."

"Tentu kamu akan menerimanya, Pak Sumartono J. Tarigan."

Orang kedua berjalan mendekatinya. Suaranya amat familiar namun ia tidak tahu siapa. Hingga tabirnya disingkap dan nampak wajah wanita jelita yang sudah tak asing lagi.

"Kau ...," Sorot mata Sumartono membulat saat melihat sang wanita. Kemudian ia lekas mengatur napasnya kembali. "Baiklah. Jadi apa yang Anda tawarkan?"

Sang wanita menjelaskan tawarannya.

Apa yang ia dengar membuat rahangnya nyaris terjatuh.

Ia meminta beberapa menit untuk menimbangnya. Sumartono tahu bahwa tawaran ini akan membawanya kepada sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Namun, dekat dengan keselamatan.

"Baiklah. Saya terima tawaran kerja sama ini, Nona Alisha Aswa."

Keduanya berjabat tangan dan menjalin sebuah hubungan rahasia. Dalam beberapa waktu dekat, sebuah rencana besar tengah dirancang untuk memperbaiki kesewenangan yang mengancam Earsyia.

***

Shitty World and Heroes [Vol. I]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang