Ketika pembawa acara dengan rambut kebanyakan pomed itu menyebutkan nomor urut dan nama Afra, telinganya seperti ditutup dua gelas berisi air.
Tepuk tangan dan senyum formalitas bersinar dibawah lampu penonton yang remang, dan Afra merasa kaki yang berjalan itu seakan bukan miliknya.
Jantungnya berlompatan sampai terdengar ke kuping ketika sampai di panggung, kemudian si pembawa acara mengatakan sesuatu yang ia balas dengan anggukan. Di depan mereka? Detik ini? Astagfirullaah.., batinnya dalam hati.
Lihatlah betapa lembut dan polosnya anak ini. Beberapa detik dia mematung disana, seperti maskot restoran yang salah tempat sambil memandang penonton. Tak pernah terbayang dalam pikirannya berkesempatan masuk semifinal lomba sekolah idamannya sejak SMP: SMA Madani.
Matanya yang berbinar perlahan berubah kosong saat melihat Rayyan, kakaknya, yang duduk di kursi penonton. Aku harus menang. Aku tidak bisa menjadi sampah baginya lagi, batinnya yang membuatku menghela kasar.
"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh." Suaranya bergetar. Dia mengenyahkannya dengan mengangguk pada tiga juri yang sudah siap dengan borang penilaian di hadapannya. "Saya Afra Mulan Annisa dari SMA Tanjung Selatan, akan menyampaikan presentasi mading tiga dimensi bertema 'Budaya Kotaku'."
Tombol pembuka ditekan, kemudian mading tiga dimensi muncul ke permukaan.
Mading itu sangat keren, perpaduan seni akrilik di kardus dan barang bekas yang disulap sangat cantik. Jika ia tidak menjelaskan, mungkin semuaorang akan menduga bahan dasarnya new stuff semua.
"Inilah budaya kota Keeta."
Di mading itu tampak dua wilayah yang berbanding terbalik.
Bagian selatannya dipenuhi rumah-rumah Edoot, fasilitas umum berkarat, dan sekumpulan gelandangan yang lesu. Jalanan berlubang laiknya lintasan offroad, di beberapa titik sepanjang raya terdapat sampah yang bertumpuk.
Sementara di utara, gedung-gedung pencakar langit berdiri, bersinar terang dengan rangkaian lampu, jalanan mulus, dan berjajar mobil-mobil mewah di setiap sudutnya.
Ada tiga gedung yang paling megah dengan sekerumunan orang mengelilinginya. Kumpulan itu terbagi menjadi tiga kelompok; wanita berpakaian minim, pria besar bersenjata lengkap, dan pria berjas yang maskulin.
"Kotaku punya tiga pilar budaya utama; berjudi, narkoba, dan seks bebas. Pemilik semua perjudian, dan kasino, dijuluki Grey; pemilik narkoba dijuluki Fallen; dan pemilik hotel dan wanita penghibur, dijuluki Pitch. Di Keeta, kalian akan kesulitan mencari uang jika lapangan pekerjaan bersih yang kalian inginkan. Mayoritas orang melakukan transaksi gelap atau berjudi untuk memberi nafkah pada keluarganya.
"Keeta terbagi menjadi dua suku: suku Waras dan suku Gila. Sebelum tahun 2006, Suku Waras—suku yang menganggap adab, agama, dan kebaikan adalah hal penting—adalah penguasa Keeta, tapi ketika terjadi ledakan di penambangan batu bara, ribuan orang menjadi pengangguran. Bertahun-tahun kami mengalami krisis perekonomian sampai akhirnya terjadi revolusi dari walikota Brandit yang hobinya korupsi dan bermain kotor. Keadaan berbalik. Suku Gila merajalela.
"Orang tua dari Suku Waras memilih pergi dan mengirimkan anak-anaknya ke luar kota, tapi jika mereka tidak punya uang, mereka akan terpaksa tinggal dan menjadi bagian Suku Gila.
"Kriminal merekrut semua orang dengan iming-iming kekayaan instan di tengah kemelaratan yang sebenarnya mereka kendalikan. Polisi-polisi berperut buncit dengan makanan hasil suap. Pengadilan berubah menjadi lapangan bisnis yang meraup kekayaan dari sogokan orang-orang kaya. Penjara hanyalah sebuah nama karena napi bisa keluar masuk dengan mudah asal punya uang. Hukum dan aturan adalah mitos.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE GREY AFRA
Random[HIATUS] "Apa kau mau menderita dan tertindas lagi di tempat itu? Dunia ini membutuhkan kekayaan dan kekuasaan, Afra! Ini demi kebahagiaanmu!" . Alter-ego. Mulan adalah diriku yang lain. Apa jadinya jika dia mengambil alih tubuhku? Memaksakan defin...