#3 Beaten

149 96 24
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Anak basket dari tim Boy—Edo, kalau tidak salah namanya, mendekat beberapa langkah di belakang Boy.

"Maju, Afra! Mari kita lihat bagaimana sentuhan seseorang yang baru dari Madani! Apakah tangannya menjadi suci?"

Gymnasium dipenuhi riuh-rendah tawa. Siswi-siswi yang tadinya protes nampak tak keberatan lagi karena inilah yang diinginkan sang raja sekolah.

"Aku," kata Afra dengan suara keras yang diusahakan. "Cuma gak sengaja menangkis bola saja, bukan berarti mahir. Lagipula yang perempuan juga keberatan—"

"Tidak, tidak! Kami akan memenuhi permintaan Boy dan Edo!" sahut fanatik lainnya.

Afra menelan ludah. Sebenarnya tidak ada masalah dengan permainan, ia hanya mencemaskan dampak sosial dari kejadian absurd ini.

"Dua tim! Sembilan orang tercepat yang sampai di lapangan akan ikut bermain!"

Siswi-siswi langsung menjerit. Afra meminggirkan dirinya ketika mereka berebutan ke tengah lapangan. Ada yang berlari cepat, ada yang menjenggut, ada yang jatuh, semua menggerakkan kaki memenuhi panggilan Boy tanpa peduli riasan wajah yang susah-susah dibangun itu.

Afra memandang ngeri pada beberapa siswi yang tergeletak kesakitan. Ketika langkahnya berlari untuk membantu, sebuah tangan besar mencengkram belakang kausnya.

"Kau tidak akan membuang waktu dengan menolong mereka, kan?"

Wajah Edo begitu dekat hingga membuat Afra terkesiap dan mundur beberapa langkah.

"Main!" serunya.

Sementara aku sudah ingin meninju mulutnya yang bau itu, Afra hanya mengubah ekspresinya menjadi tidak suka. Dia ingin mengatakan sesuatu, namun menahannya karena hanya akan memperpanjang urusan.

Di lapangan, Afra bergabung dengan tim A yang sudah mulai berunding. Kedatangannya membuat obrolan mereka terhenti.

"Hei, kenapa bisa kau ikut lomba ke Madani dan kalah?" kata gadis bertubuh paling besar yang di bet namanya tertulis 'Naomi'.

"Kenapa...?"

Naomi tertawa, sementara siswi lainnya memandang Afra tidak suka. "Oh, baru ingat, anak sepertimu memang gak pernah peduli dengan TS dan raja kita, kan?"

"Kau memperburuk citra TS!" kata siswi lain.

Wow, wow, wow, apa-apaan ini? Apakah hak seseorang untuk bebas berkreasi dan mengasah bakat menurut Perda no. 3 tahun 2000 sudah tak berlaku lagi?

"Apa maksudmu—"

PIIP!

Boy tersenyum lebar. Satu tangannya terangkat memegang basket. "Kita berikan bola pada tim A dulu!"

Naomi mencengkeram lengan Afra. "Sebaiknya kau bermain bagus."

Afra tidak pernah terlalu terlibat dalam olahraga, tapi ia juga bukan orang takut dengan bola. Ia melihat wajah-wajah timnya. Ada Naomi, Chandis, Rita, dan seseorang kalau tidak salah bernama Beti.

THE GREY AFRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang