#24 - game changing

12 3 3
                                    

Sofie mengulurkan ponselnya. Casing-nya adalah animasi kuda poni berwarna merah jambu dengan pelangi-pelangi. Sambil menopang dagu dengan tangan kanan, mataku bergerak ke bawah melihat layarnya.

HOT TODAY: Chessnut dan Gadis Penembak Misterius

[CHESSNUT] Kasino terbesar di Keeta digemparkan dengan kedatangan seorang gadis yang terlibat perkelahian dengan Boy dari partai Joker. Malam ini, pukul 20.00 Carl Jones sedang mengadakan crazy gambling setelah ribut dengan istrinya. Tanpa diduga, terdapat kejadian aneh ketika seorang saksi melihat Boy terkapar dan ditodong pistol.

"Sebelumnya memang kulihat Boy iseng menarik rambut gadis itu hingga telentang, tapi apa yang membuatnya begitu marah sampai mengeluarkan senjata? Ini menakutkan!" – S, 22 tahun.

Berita itu juga memuat video sejak ramai karena Carl Jones bermain, sunyi ketika aku membidik Boy, hingga riuh-rendah gosip saat petugas keamanan menyita kartu aksesku. Semua video dan foto dengan jelas memotret wajahku.

Apakah aku terkenal, sekarang? Aku hanya memandang Sofie tanpa ekspresi.

"Kau ada di trending topic kedua, Afra, wow..." Sofie menarik kembali ponselnya dan mencari artikel lain. "Tapi jujur, di semua foto ini kau sangat keren. Kau seperti mau pemotretan film."

Aku menghela. Pandanganku naik ke atas lampion yang menggantung di langit-langit. Sekarang kami ada di Fungus, salah satu restoran siap saji yang tak terlalu jauh dari apartemenku. Kami memilih tempat ini karena sebentar lagi 23.00. Nick belum memperpanjang jam malam, dan rasanya tak berguna juga jika berkeliling lebih lama.

Beberapa pasang mata dari pengunjung melirik ke arah kami. Satu-satunya medsos di Utara adalah LubToday, jadi berita kecil pun akan memiliki pembaca, apalagi jika masuk peringkat besar.

"Tapi aku benar-benar kesal. Aku tidak terlalu mendalami anggota partai karena kemari hanya untuk main arkade," alis Sofie mengerut simpatik. "Aku tidak tahu mereka sudah lama disini."

Ujung telunjukku menelusuri lingkaran susu kaleng yang dibelikan Parker. Susu itu masih penuh, padahal Parker sudah menambah porsi beefsteak kedua. Sejak tadi dia hanya diam. Kami hanya diam. Mulanya Sofie juga tidak bicara, tapi kesunyian panjang ini mengganggunya.

"Tidak apa, Afra, kita harus tetap optimis!" Sofie menepuk pundakku. "Aku dan Parker akan membantu." Parker meliriknya tajam. "Apa? Kau mau mundur karena Afra sudah banyak merepotkan? Dasar gak setia kawan!"

Perkataan Sofie membuatku meliriknya. Parker membantu sebentar, lalu lanjut mengunyah. "Bukan gak setia kawan, dasar—"

"Bodoh? Keledai? Marmut? Memang benar kata Afra mulutmu itu rombeng seperti OT," sembur Sofie.

"****, mulutmu yang..." ia terhenti. Ia menaruh garpunya, lalu menatapku. "Kita harus cari alternatif. Blokir itu benar-benar final."

Aku menunggunya.

"Kita akan berbelok ke jalur Hellsing dan memenangkan poker disana. Setelah kau cukup populer dan bisa masuk Chessnut lagi, maka bum, hajar mereka satu-satu."

"Nick tidak akan mengizinkanku ke Hellsing," kataku. "Sejak dulu aku dijauhkan dari dua tempat, PitchPlace dan Hellsing."

"Tapi kau hanya bermain poker, Afra, sama sekali tidak akan terlibat narkotika," timpal Sofie. "Meskipun tidak seramai Chessnut, peningkatan popularitasmu akan cepat sekali jika sukses disana. Orang-orang Hellsing dianggap paling superior karena mereka inti roda perekonomian Keeta."

Ya. Itu ide yang brilian. Aku menurunkan tangan ke kolong meja. Jemariku saling bertautan, dan aku baru sadar telapakku sangat dingin. Boy yang berteriak di lapangan TS, ia yang menarik rambutku, semua kejahatannya terlintas seperti benang-benang yang bersatu menjadi gumpalan besar.

Bagaimana jika disana juga ada anak-anak TS? Bagaimana jika semua berita ini menggagalkan Afra menjadi Supreme?

Tenggorokanku seperti menyempit. Parker dan Sofie sedang bertengkar, mereka mengabaikanku. Di saat yang sama, tiba-tiba layar ponselku menyala. Incoming call. Nick.

"Aku pergi dulu sebentar," kataku.

Aku pergi ke halaman luar. Di depanku adalah susunan bangunan dengan bintang bertaburan. Angin berhembus membuat tanganku semakin membeku.

Setelah menarik nafas, aku menempelkan ponsel ke telinga.

"Kau oke?"

Aku meremas jemari yang masih saja dingin. "Maksudmu?" Aku agak berteriak untuk mencegah keraguan.

"Aku lihat beritamu."

"Berita—oh," aku mendengus. "Hah, bukan masalah sama sekali. Segala gangguannya tak lebih dari gigitan semut. Aku tetap akan berusaha keras, dan lihat saja nanti siapa yang menang."

Aku menelan ludah. Tak ada suara sama sekali darinya. Dia menunggu... sampai kukira sambungannya terputus.

"Aku akan meminta mengeluarkan mereka."

"Jangan! Biarkan saja!" aku menelan ludah lagi. "Maksudku, aku bukan pengecut. Aku berencana untuk kembali lewat jalur Hellsing—aku bersumpah tidak akan terlibat dalam narkotika atau apapun, dan jika iya kau boleh mengambil kartu aksesku atau memblokir semua aksesku selama satu bulan..." suaraku menghilang. "Halo? Nick, kau dengar?"

Diam dulu. Mungkin dia sedang berpikir. Penolakannya di rumah sakit dan tegurannya di Bransburry membuatku menahan nafas.

"Ya," katanya.

Mataku membesar. Sungguh dia langsung mengizinkan? Pasti akan banyak aturan yang diberlakukan, kan?

Kukira aku akan lega, tapi tenggorokanku masih terasa sempit, seperti ada batu. Seperti ada seikat kecemasan yang membesar menjadi bongkahan sehingga kepalaku terus berputar-putar.

"Kau... dimana?" Aku mengerjap. Bertanya seperti ini tidak aneh, kan? Karena suaranya sangat sunyi. Maksudnya, aku bisa menjelaskan lebih detail jika dia sudah di rumah.

"Di Madani." Sesuatu seperti jatuh dari kepalaku. "Aku belum memberitahumu. Sepertinya aku akan membuat peternakan disana."

Mataku bergerak dari kanan ke kiri. "Oh..," aku tidak tahu. Ini benar-benar mengejutkan sampai bingung berkomentar apa.

"Maaf baru memberitahumu," katanya. "Mungkin aku baru pulang besok."

Aku terdiam. Dingin. Jemariku terasa begitu dingin. Beberapa detik, ketakutan bergejolak dalam hatiku hingga mataku menyipit. Apa yang kutakutkan? Ataukah karena angin ini...

Setelah obrolan singkat soal makan malam, kami menutup telepon.

Aku menenggak melihat bayangan bangunan-bangunan disana. Pandanganku kesana, tapi yang berputar dalam pikiranku adalah wajah Boy dan teman-temannya. Apakah aku akan mengalami hal yang sama seperti Afra? Dengan penindas yang sama pula?

Tanganku mengepal. Panas bergejolak lagi dalam perutku. Namun panas itu terhalang oleh ganjalan di tenggorokan yang sesak lagi. Aku menarik nafas, berusaha menghembuskannya dengan tenang.

Setengah jam sebelum 23.00, aku sampai di Bransburry Suite. Satu per satu lampu menyala ketika aku datang. Ruangan ini sunyi sekali. Hanya ada suara AC yang otomatis menyala dan detik standing clock di tengah ruangan.

Tik, tik, tik.

Aku menutup pintu.
.
.
.
.
.
TBC

THE GREY AFRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang