#6 Colosal

120 78 20
                                    

Melihat "teman-temannya" yang masih bermain bola sampai sore, biasanya akan muncul beragam ironi dalam diri Afra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Melihat "teman-temannya" yang masih bermain bola sampai sore, biasanya akan muncul beragam ironi dalam diri Afra.

Dia merenungkan betapa tak berdayanya ia untuk menembus pintu strata sosial TS agar bisa sekedar menyapa atau menanyakan kabar.

Afra sebenarnya tidak peduli soal popularitas, tapi naluri sebagai makhluk sosial kadang membuatnya merasa kesepian.., di samping itu, ia juga ingin bisa berteman baik agar dapat menyampaikan kebaikan.

Tenggorokannya terasa sesak ketika melihat teman-temannya hanya bermain dan bergosip tanpa makna. Mereka bangga dengan popularitas kecil yang dimiliki di sekolah ini, padahal terkenal di kota lain pun tidak.

Semesta ini adalah susunan yang amat besar dan infinity, namun dengan sedikit harta atau kekuasaan, betapa seringnya seseorang merasa dialah rajanya. Seolah bumi tak akan terbelah atau menelan dirinya...

Sementara aku yang melihatnya berpikir demikian hanya bisa mengusap wajah. Masalahnya adalah, kenapa dia perlu berpikir seribet itu.

Di antara keramaian yang berkelompok-kelompok, Afra berjalan menuju pintu keluar. Boy di tengah lapangan memandangnya dari kejauhan, dan seperti efek domino, semua penonton mengikuti arah pandangnya.

Jangan pernah menoleh pada pecundang.

Afra hanya mengangguk, lalu pura-pura tidak tahu. Jantungnya berdebar, menghitung mundur namanya akan dipanggil, namun hingga sampai gerbang, tidak ada yang terjadi.

Dia menghela—

"Halo, gloomy girl." Boy tiba-tiba menjulang di depannya.

Afra terkesiap, cengkeramannya pada tali tas usangnya mengerat. "Eh, hai."

Boy menyeringai. "Lihat betapa kecilnya kau. Seperti kelinci ketakutan di depan singa, ya."

What? Hei, aku benar-benar akan meninjumu!

"Aku cuma kaget." Dia menelan ludah.

"Pertunjukan yang bagus, kemarin. Sepertinya aku ingin menyaksikannya lagi. Mungkin di minggu depan?" Alisnya terangkat sambil tersenyum lebar.

"Apakah kekalahanku masih mengesalkanmu?" Afra sedikit mengernyit. "Aku tidak tahu Madani rupanya rival TS-Basket Club. Maaf."

Maaf? Ini bukan sesuatu yang perlu dimintai maaf, hei!

Boy tertawa keras hingga matahari dapat menembus ludahnya yang muncrat di udara. Keringat di lehernya bersinar dan bekas keringat di bajunya membuat warnanya jadi lebih gelap.

Dia jorok, kau tahu! Dan dia bau! Tapi dia sok keren dengan ototnya itu!

"Hah! Jadi ada orang yang tidak mengikuti perkembangan basket sekolahnya, ya!" Dia jadi serius. "Kemana saja kau, hah? Sibuk mengaji? Ikut ta'lim? Atau berjam-jam sholat, ya kan? Aku jadi penasaran apa yang kau sembunyikan dibalik kerudung ini--"

THE GREY AFRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang