Ganendra membawa Artha pergi ke kafe miliknya. dengan canggung Artha duduk di kursi yang sudah dipersiapkan oleh Ganendra. Diam-diam pandangan Artha mengagumi nuansa kafe. Aroma kopi khas, desain klasik diiringi musik jazz membuat nyaman pelanggan. Tak heran tidak ada kursi kosong di kafe. Para pelanggan betah berlama-lama di sini. Beruntungnya Artha diajak Ganendra menikmati kopi di ruangan VIP.
“Pesanannya pak.” Seorang pelayan pria memasuki ruangan dengan membawa nampan berisi dua gelas es kopi Latte dilumuri es krim vanila. “Thanks.” Ucap Ganendra. Sang pelayan merespon dengan senyuman lalu pergi. “Tenang aja, es kopinya the best. Ngga ada racun atau obatnya.” Ganendra tahu keraguan terpancar di wajah Artha. “Maaf, aku ngga bermaksud suudzon. Btw, makasih.” Artha mencicipi es kopinya. Ternyata benar, enak sekali. “Gue tau lo suka kopi.” Artha berhenti meneguk es kopi. “Kamu tau dari siapa?” Ganendra terkekeh. “Siapa lagi? Mantan lo lah.” Artha terkesiap. Jika Ganendra tahu tentang dirinya dari Mahes berarti ada kemungkinan bahwa Mahes mengingatnya. Apakah Artha harus senang?
“Gue serius suka sama lo, Tha.” Ganendra menatap Artha dengan tatapan memohon. “Tapi kenapa harus aku? Kita aja baru ketemu pertama kali di pertandingan. Gebetan kamu juga banyak. Jangan kira aku ngga tau.” Artha meragukan niat Ganendra. “Ternyata lo cari tau tentang gue juga.” Ganendra menunjukkan senyum smirk-nya. “Jalin hubungan sama gue lebih menguntungkan buat lo daripada sama Mahes.” Hati Artha tidak terima. “Sebenernya niat kamu apa?” Tangan Artha mengepal di bawah meja. “Gue mau lo jadi cewek gue atau lebih tepatnya simpenan gue. Gue bakal jadi pacar idaman lo kalo lo ngasih apa yang gue mau.” Artha diam. “Gue bakal ngasih apapun yang lo mau, Tha. Gue lebih dari Mahes. Lo bakal puas kalo jadi cewek gue. Gue perhatian, bisa beliin apapun yang lo mau, bisa jalan sama lo kapanpun lo mau ya asalkan lo nurut sama gue. Intinya, lo Cuma harus nurut.” Ganendra menyesap es kopi Latte membiarkan Artha berpikir.
Kau tahu apa yang membuat Artha tidak menolak secara langsung? Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk balas dendam pada Mahes, mencoba melupakan Mahes sekaligus menyadarkan Ganendra atas perilakunya melecehkan hati seorang wanita. Artha sangat bimbang saat ini. Batin dan logika Artha berbeda, tidak ingin sama jawabnya. “Gue kasih lo waktu buat jawab. Besok lo harus kasih gue jawaban, sayang.” Ganendra tersenyum. Sungguh, jika Ganendra adalah sosok baik maka Artha sudah menerimanya sejak tadi. Alis tebal, mata hitam legam, senyum menawan, kulit sawo matang serta tinggi idaman sudah memikat logika Artha. “Lusa?” Artha meminta tambahan waktu. “Gue ngga sesabar itu. Ayo gue anter balik.” Ganendra menggenggam salah satu tangan Artha, membawa Artha ke parkiran karena matahari sudah tenggelam.
Suara pantulan bola basket terdengar nyaring terus-menerus di waktu manusia berada di dalam rumah. Hanya sunyi yang menemani Mahes malam ini. Pikirannya tidak bisa lepas dari bayangan wajah Artha. Mahes bingung, perasaannya mengkhawatirkan Artha lebih dari sekedar adik. Logikanya tetap berpegang teguh berprinsip jika Artha hanyalah adik bagi Mahes. Ponsel Mahes bergetar, pertanda masuknya sebuah pesan.
1 Pesan Belum Dibaca
ArthawidyaHes.
Apa?
Sibuk ya?
Iya, kenapa?
Gapapa. Udah makan?
Udah. Lo?
Udah tadi.
Jangan tidur malem ya lo.
Sweet banget sih Hes.
Kan lo adik gue.
Mahes kecewa pada diri sendiri. Setelah mengkhawatirkan Artha seharian, balasan Mahes tidak sesuai perasaannya. Mahes membohongi diri sendiri. Ia terlalu malu untuk berkata sejujurnya. Dirinya tidak tahu harus bagaimana lagi untuk mencoba terbuka. Tidak pernah ia merasa seperti saat ini. Penyesalannya akan bertambah jika ia terus begini. Mencampakkan Artha seolah tidak berarti apa-apa. Padahal, Mahes sudah dibuat berdegup kencang hanya dengan memikirkan sang mantan saja. Ada sesuatu yang Mahes sembunyikan. Dalam posisi menahan romansa, ia harus tetap beku di tengah kehangatan.
Seseorang datang menemui Mahes. Memainkan bola basket dengan santainya. Senyum sinis tak pernah lepas dari wajahnya. Seolah ingin menghina Mahes. “Gue yakin malem ini Artha berubah pikiran.” Ganendra memasukkan bola basket ke dalam ring. “Terus apa hubungannya sama gue?” Mahes mengambil botol minum miliknya guna menghilangkan dahaga. “Niat gue jahat, Hes. Gue bakal betah mainin dia.” Ganendra mengancam Mahes. “Jangan nyesel ya lo.” Mahes terduduk di pinggir lapangan setelah Ganendra pergi. Bernapas saja berat bagi Mahes saat ini. Berbohong untuk kebaikan Artha merupakan tujuan utama. Ada sisi gelap yang belum terkuak.
Artha menghembuskan napas kasar. Setelah dibuat melayang, Mahes meruntuhkan segalanya. Mungkin menerima tawaran Ganendra tidak ada salahnya. Apakah bisa dibenarkan keputusan Artha ini? Apakah menjadi simpanan Ganendra bisa menyelesaikan segalanya? Artha pergi menemui Niana. Mencari jawaban lain dari teman sebangku. “Aku harus jawab apa?” Artha menidurkan kepalanya di sofa. “Coba aja. Siapa tau Mahes bisa sadar pas lo sama Ganendra.” Bukan tanpa sebab Niana berbicara seperti itu. Niana pun sebenarnya tidak ingin Artha bersama Ganendra. Namun Mahes membuat segalanya menjadi lebih rumit. “Keputusan yang aku buat bakal bikin luka sendiri, Ni. Entah aku bisa aja jatuh hati tanpa sadar sama Ganendra, atau Mahes ngga pernah berakhir kisahnya walaupun aku udah sama Ganendra.” Niana memeluk Artha. Menguatkan sahabatnya, mengalirkan rasa baik-baik saja.
Hujan deras mengguyur kota Naunan sejak pagi buta. Sore ini, Artha mengikuti latihan mingguan klub basket SMA. Tetapi, hujan menghalangi membuat seluruh anggota menatap lapang basah dengan harapan hujan segera reda. Artha bersyukur, hujan akan menghalangi Ganendra datang. Dan, Artha salah menyangka ketika ponselnya berdering.
Gue di depan gerbang sekolah lo.
Hah?
Cepetan keluar.
Oke.
Artha buru-buru izin kepada teman-teman satu timnya untuk pulang lebih dulu. Menerobos rintik hujan menuju gerbang sekolah. Benar saja, sebuah motor besar sudah bertengger di bawah pohon seberang gerbang. Ganendra sedang berteduh di warung Mak Na. Artha langsung duduk di sebelah Ganendra. Mengelap tangan yang basah karena hujan. “Lo cantik.” Ganendra mengusap puncak kepala Artha. “Yuk cabut.” Artha hanya mengangguk karena syok atas perlakuan manis Ganendra.
Selama di perjalanan, Artha hanya diam tak berkutik. Entah kenapa, menikmati hawa setelah hujan bersama Ganendra tidak seburuk itu. ”Kita makan dulu ya.” Ganendra menambah kecepatan motor sportnya setelah menutuskan akan membawa Artha ke kafe miliknya. setibanya di kafe, seperti biasa Ganendra memakai ruang VIP agar tidak ada yang mengganggu.“Jadi jawaban lo apa? Lo mau jadi pacar gue?” Ganendra memulai pembicaraan setelah suapan terakhir Artha. Inilah inti pertemuan mereka. “Ya.” Artha tidak berani menatap Ganendra. “Ya untuk apa?” Ganendra memancing Artha. “Untuk jadi pacar kamu.” Ganendra menggenggam kedua tangan Artha. “Lo pasti bahagia sama gu, pacar kedua.” Ganendra merasa sangat puas. Akhirnya rencana menghancurkan Maheswara akan segera terwujud. Sedangkan Artha, hatinya masih tak menyangka akan kalah dengan logika. Membalas semua perbuatan Mahes adalah niat yang terpaksa dibenarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEBALIK
Teen FictionHidup tidak selalu sejalan. Mencintaimu pun bukanlah sebuah keinginan. Sebab, patah hati menjadi sebuah keharusan yang ku dapatkan. Karena denganmu, tinta beracun yang ku temukan. Namun, seperih apapun tetap saja bahagia harus ku cipta bukan? -Artha...