SENJA

1 0 0
                                    

Semenjak memulangkan Artha dari kelab, Ganendra berubah sikap. Sosial medianya online, tapi tidak mengirim pesan pada Artha. Artha tidak buta, Ganendra sedang marah. Marah karena rencananya gagal. Ia mengalah pada nafsu karena penolakan Artha. Artha pikir, Ganendra bisa berubah dengannya. Artha kira, rencana baiknya akan berhasil. Dan perlu diingat, Mahes sudah tidak dalam pikirannya semenjak Artha pergi bersama Ganendra.

Guru Kimia di kelas Artha tidak hadir karena sedang dalam perjalanan bisnis di luar kota. Kelas sangat ramai karena mereka bebas tanpa pengawasan. Niana memperhatikan raut wajah Artha murung sedari pagi. Sepertinya kemarin, masalah muncul antara dua sejoli yang memutuskan bersama karena dua tujuan berbeda. "Kenapa lo murung gitu dari tadi?" Niana menyenggol pelan bahu Artha. "Aku bingung, Ganendra ngga ngabarin." Apa? Artha memikirkan Ganendra? "Emang pas ketemuan kemarin ada masalah? Atau lo berbuat salah?" Niana mencoba menebak. 'Aku nolak dicium emang salah ya?' pikir Atha. "Ngga ada masalah sih. Yaudahlah ngga perlu bahas." Artha mencoba mengalihkan topik. "Yakin lo ngga ada masalah sama Ganendra?" Niana bertanya sekali lagi. "Ngga ada. Lagian aku ngga mikrin dia." Bantah Artha.

Rooftop memang tempat terbaik untuk mengeluarkan amarah. Ganendra menendang kursi belajar yang sudah rusak. Kejadian kemarin benar-benar diluar dugaannya. Dengan mudahnya ia menerima penolakan Artha. Seumur hidup, Ganendra selalu mndapatkan apa yang diinginkan termasuk wanita. Tapi tidak dengan Artha. Gadis itu tidak tertarik dengan hartanya. Simpanan barunya bukanlah seorang penjilat. Seharusnya Ganendra memutuskan Artha namun tidak terjadi apa-apa selain diam seribu bahasa. Ganendra tidak bisa menggunakan Artha untuk menghancurkan Maheswara.

"Lo salah pilih simpenan, Ndra" Wildan terkekeh. "Sejak kapan lo di sini?" Ganendra mengernyit tak suka. "Dari pas gue ngomong. Gue bosen di kantin." Wildan mengambil salah satu kursi untuk duduk. "Lo ngga nemenin kapten tercinta?" Ganendra menyindir kedekatan Wildan dengan Mahes. "Inget, Ndra. Kita satu tim. Lo tau yang milih Mahes buat jadi kapten itu kita bukan coach. Lo juga milih Mahes. Setelah Mahes dapet piala sebagai kapten terbaik, sikap lo berubah." Wildan menatap Ganendra sekilas. "Karena gue baru sadar kalo orang miskin kaya dia ngga pantes buat dapet penghargaan! Gue lebih punya kuasa bangsat!" Ganendra meneriaki Wildan. "Kenapa lo ngukur kemampuan seseorang dari harta dan kuasa? Kalo dia bisa, kenapa ngga? Inget Ndra, kita itu tim! Lo ngga nerima kapten sama aja lo ngga nerima tim!" Wildan berucap tegas.

"Persetan sama tim! Kalian ngga pernah ada buat gue!" Ganendra menunjuk-nunjuk Wildan. "Lo yang selalu mengasingkan diri dari tim setiap ada masalah. Lo malah ngelampiasin dengan cara bersenang-senang di kelab. Lo yang menghindar, Ndra." Wildan menahan amarah. "Mahes bakal lengser secepatnya." Ganendra mendesis. "Lo harus belajar menghargai orang yang selalu care sama lo.." Wildan meninggalkan Ganendra.

Sepulang sekolah, Artha pergi ke warung mak Na berharap menemukan Ganendra di sana. Nihil, tidak ada sosok yang ia cari. Artha memutuskan untuk menunggu sebentar. Hampir satu jam sudah yang ditunggu tidak kunjung datang. Tiba-tiba suara motor berhenti membuat Artha harap-harap cemas. Benar saja, Ganendra datang. Hanya saja, wajahnya lusuh. Seperti sedang mengalami kesulitan. Ganendra seperti bersyukur menemukan Artha di sini walaupun tidak memberi kabar. Ganendra memeluk Artha sebentar. "Bentar, gue mau ngademin hati." Kalimat pertama yang keluar dari mulut Ganendra. "Emang harus meluk aku?" Artha diam tak bergeming. "Iya, cara lain selain minum bir." Ganendra melepaskan pelukannya.

"Ada masalah?" Artha memberanikan diri untuk bertanya setelah melepaskan diri dari kungkungan Ganendra. "Keliatan banget emang?" Ganendra menatap manik cokelat terang seakan menenangkan. "Iya." Artha mencoba membuat Ganendra bercerita. "Gue mau ngajak lo ke bukit." Ganendra langsung menarik tangan Artha pergi dari warung mak Na. "Ga, ini udah sore. Aku harus pulang tepat waktu." Artha menatap awan semakin menggelap. "Masih ada 1 jam buat berduaan." Ganendra melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 04:00 sore. Ganendra langsung tancap gas mengejar waktu untuk sampai ke bukit.

Mereka tidak menyadari bahwa Mahes sejak tadi mengikuti Ganendra. Saat pelukan Ganendra mengerat pada Artha pun Mahes menyaksikannya. Haruskah Mahes berhenti saja? Jika Artha bisa lebih bahagia dengan Ganendra, kenapa tidak? Namun, Mahes tidak bisa. Ganendra bukanlah laki-laki baik untuk Artha. Padahal, pertandingan nasional sebentar lagi. Tapi, Mahes merasa tidak nyaman dengan apa yang terjadi saat ini. Ia harus melihat Ganendra membawa Artha di pertandingan nanti. Ia harus bersikap terbuka agar suasana tim tidak terganggu. Mahes berhenti mengikuti. Pemandangan yang dilihat membuat tidak nyaman.

Jalan meninggi ketika bukit terlihat. Bukan bukit penuh bunga maksud Ganendra. Faktanya adalah Artha melihat bukit pemakaman. Ganendra mengajak Artha menemui papahnya yang sudah tiada. Entah kenapa, Ganendra tidak pernah membawa orang asing termasuk kekasih lamanya menemui sang papah. Artha sedikit bingung dengan sikap Ganendra. Kemarin menunjukkan sisi liarnya dan saat ini adalah sisi lemahnya. Apakah Ganendra seperti ini juga kepada para selingkuhannya?

"Lo adalah orang asing pertama yang gue bawa buat nemuin papah. Pacar gue aja kalah sama lo." Ganendra berlulut di depan makam sang papah. Membersihkan dedaunan kering yang berada di sekitar makam. "Kenapa aku, Ga?" Artha ikut berlutut, mengusap nisan bertuliskan nama Narendra. "Gue kaya gini karena papah. Papah meninggal karena overdosis waktu lagi di kelab sama cewe-cewe selingkuhannya. Sedangkan mamah di rumah ngurusin gue sendirian waktu kejadian. Setelah pemakaman papah, semuanya terungkap. Papah punya banyak selingkuhan dan anak di luar nikah negara. Mamah sempet depresi karena itu. Untungnya gue udah lumayan gede jadi bisa bantu ngeringanin beban mamah. Salah mamah gue apa, Tha? Salah mamah gue dimana? Sampe harus ngalamin hal ini." Mata Ganendra berkaca-kaca.

"Terus kenapa kamu ngelakuin dosa yang sama, Ga? Kamu tau kan kalo hal itu bukan buat ditiru." Artha duduk disebelah Ganendra. "Gue mau bikin papah masuk neraka karena ngga bisa didik gue. Gue mau papah tersiksa di sana. Karena darah papah ngalir di gue, sama aja buruknya ngalir di gue Tha." Ganendra terisak. Artha memeluk Ganendra karena tak tega. Ternyata, dibalik setiap perilaku manusia pasti ada alasannya. "Tapi kamu bisa beda, Ga. Kamu bisa contohin mamah. Mamah kamu ngga pernah ngajarin keburukan. Kalo kamu ngelakuin hal yang sama kayak papah kamu, sama aja nyakitin mamah kamu untuk yang kedua kalinya. Kasian mamah, Ga." Ganendra semakin terisak dipelukan Artha. "Ngga semua perempuan jahat. Manusia selalu punya titik ubahnya. Jangan ngelakuin hal ini lagi, Ga." Ganendra mengangguk dalam pelukan Artha.

Sore itu, dua manusiasaling berbagi rasa sakitnya. Senja mengizinkan mereka berbagi kepedihan masalalu tanpa harus menunggu waktu. Manusia memang unik. Setiap tingkah lakunya bisamengartikan banyak kata.

SEBALIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang