Artha sudah bisa berjalan walaupun tetap menggunakan bantuan berupa tongkat. Ia mondar-mandir sejak tadi menunggu tanda-tanda kabar dari Mahes tapi nihil. selama dua hari tidak ada satu pesan ataupun panggilan dari Mahes. Artha pergi ke SMAN 2 Naunan berniat menemui Mahes secara langsung di lapangan. Karena yang Artha ketahui adalah siang ini jadwal berlatih tim 2 Naunan. Di lapangan, Artha tidak menemukan yang ia cari. Ganendra pun tidak terlihat. Bertambah aneh saja menurut Artha. Tanpa pikir panjang, Artha menemui Yunaf. "Naf." Suasana mendadak sunyi kala suara Artha mengalun memanggil seorang anggota diantara mereka.
"Eh Tha, ada apa?" Yunaf menghampiri Artha. Diga menduga bahwa ini terkait Mahes yang tidak ada kabar. "Tau ngga Mahes kemana? Atau dimana?" Yunaf mengernyit. Ia kira bakal mendengar kabar Mahes dari Artha. "Sorry Tha, gue kira bakal dapet kabar Mahes dari lo. Kita juga ngga dapet kabar sejak dua hari yang lalu. Termasuk Ganendra juga ilang tuh." Artha menghela napas berat. "Kamu tau alamat rumah Ganendra?" Artha berharap. "Tau, sini hp lo. Gue kasih lokasinya." Artha langsung memberikan ponselnya dengan sumringah. "Makasih, Naf. Aku pamit." Artha cepat-cepat pergi setelah mendapatkan titik lokasi di Gmaps-nya.
Artha pergi diantar oleh sopir sang papah. Langit berawan menurunkan hujan saat mobil yang ditumpangi Arth berhenti karena lampu merah. Artha menerawang melihat para pedagang di pinggir jalan. Apa yang akan ia ketahui sesampainya di rumah Ganendra. Kedua tangan Artha memeluk diri sendiri seakan dinginnya hujan sampai menembus jaket jeans yang ia pakai saat ini. Mobilnya berhenti di depan rumah besar berwarna abu-abu. Terlihat motor besar Ganendra terpakir di depan garasi. Gerbangnya tidak sebesar itu untuk menutupi pemandangan di dalam. "Neng, pake payung ya." Saran pak Denis sambil mengambil payung di jok samping. "Ngga usah pak. Artha langsung turun aja. Bilangin ke papah, Artha pulang sendiri nanti. Makasih ya pak." Artha turun dari mobil secara perlahan. "Hati-hati neng." Ucap pak Denis ketika Artha menutup pintu mobil.
Gerbang terbuka begitu saja. Dengan ragu Artha memasuki teras. Dilihatnya pekarang rumah penuh berbagai macam bunga. Tangannya sedikit bergetar ketika mengetuk pintu. Karena belum terlihat tanda-tanda sahutan dari dalam, Artha memencet bel sebanyak dua kali. Barulah pintu terbuka menampakkan sosok Ganendra yang memakai kaos hitam polos dengan jeans seperti bersiap akan pergi. "Ga." Ganendra sedikit terkejut. Pasalnya, ia tidak pernah membawa Artha ke rumah ataupun memberikan alamat rumahnya. Baju Artha pun sedikit basah terkena percika hujan. "Tha, masuk. Gue bikinin teh anget ya." Artha mengangguk bisu.
Ganendra kembali ke ruang tamu dengan nampan berisi teh hangat untuk Artha. "Maaf ya aku ganggu. Kayaknya kamu mau pergi?" Artha menebak. "Gue abis pergi tadi. Jadi lo ngga ganggu. Kenapa Tha?" Artha menatap Ganendra. "Ga, Mahes ada dimana sekarang?" Ganendra tidak tahu jika Mahes menceritakan kepindahannya kepada Artha. Kemungkinan, Artha sudah tahu hubungan yang dimiliki Mahes dan Ganendra. Ganendra bingung harus menjawab yang sejujurnya atau merahasiakan hal ini dari Artha. Sebab, ibu Jasmin berpesan bahwa kondisi Mahes tidak boleh diketahui siapapun selain keluarga. "Aku putus asa, Ga. Aku ngga tau kemana lagi aku harus cari Mahes atau kabar tentang dia. Tinggal kamu satu-satunya yang bisa aku tanya. Aku ngga bisa ngehubungin Mahes ataupun ibu Jasmin." Artha tak kuasa menahan tangis. Kesedihannya meluap begitu saja.
Ganendra mendekat kepada Artha, memeluk gadis yang sedang ia cintai itu. Berharap bisa menggantikan posisi Mahes yang hilang, Ganendra mendekap Artha cukup lama. Setelah tangis Artha mereda, Ganendra melepas pelukannya berganti genggaman tangan. "Ada tumor di ginjal kiri Mahes." Artha menutup mulutnya yang menganga karena syok. Tumor? Bagaimana bisa? "Jelasin Ga kenapa Mahes bisa sakit?" Artha menatap Ganendra tanpa berkedip. "Sebenernya, Mahes punya ginjal yang sensitif kata dokter. Apalagi lo tau kan kalo dia itu sukanya minuman yang berwarna, utamanya minuman bersoda. Sedangkan dari minggu lalu, dokter udah ngasih vonis kalo Mahes ngga boleh minum soda selama satu bulan karena fungsi ginjalnya menurun." Ganendra diam sebentar. Mengamati ekspresi Artha yang menegang. "Terus Mahes kesakitan pas balik dari rumah lo. Ternyata sebelum ke rumah lo, dia ke kafe sama Agi pesen soda. Pas di rumah lo, dia juga minta soda. Dia ngelanggar aturan dokter, Tha. Dokter kira, Mahes gagal ginjal. Tapi, ternyata penyebabnya karena ada tumor." Artha menangis deras. Ganendra yang tidak tega, membiarkan Artha terkulai di pundaknya. Membiarkan Artha bersandar menumpahkan kecemasan serta rasa bersalahnya. Ganedra tahu, Artha tidak salah. Artha tidak tahu yang sebenarnya. "Tha, ini bukan salah lo. Dia yang minta." Artha menggeleng tanda tidak setuju.
"Terus kondisi Mahes gimana sekarang?" Artha bertanya dengan suara serak. "Mahes harus cangkok ginjal. Semalem gue yang jagain dia. Keadaannya buruk, sama sekali ngga baik. Apalagi dia udah ngga bisa jadi atlet basket." Terdengar sekali nada sedih Ganendra. "Aku harus ketemu sama dia, Ga. Kamu mau kan nemenin aku ngeliat dia? Seengganya, aku liat keadaan dia sekarang. Aku ngga bisa tenang, Ga." Artha memohon. Ganendra tidak akan bisa menolak Artha tapi juga tidak bisa mengijinkan begitu saja karena keputusan ada di tangan bu Jasmin. "Sebentar Tha, gue minta izin ibu dulu." Ganendra pergi untuk menghubungi Jasmin. Artha mengangguk lemah. Semoga saja Jasmin mau mengizinkan dirinya melihat Mahes. Ganendra kembali beberapa saat dengan membawa kunci motor. "Ayo." Segaris senyum terbit di bibir Artha.
Ganendra menggunakan mobil karena hujan masih belum mereda. Tangan Artha gemetaran karena dingin. Ganendra dengan sigap memberikan jaketnya yang berada di jok belakang pada Artha. "Makasih." Artha langsung memakai jaket Ganendra. Aroma yang sangat familiar di hidungnya. Parfum berbau alam, lebih natural seperti sedang menghirup aroma secangkir teh. Sesampainya di rumah sakit. Ganendra membawa Artha menuju ruang rawat VIP. Keamanannya dijaga sangat ketat. Dokter-dokter kesana kemari, sibuk sekali. Tidak sembarang orang bisa dirawat di bangsal VIP.
Kamar rawat nomor dua dengan nama pasien Maheswara terpampang di depan pintu. Ganendra membuka pintu secara cepat. Artha bisa langsung melihat Jasmin yang sedang duduk di sofa depan kasur tempat Mahes berbaring. Senyumnya lemah, menahan beban duka yang sangat kentara. "Halo Artha." Jasmin memeluk Artha, menunjukkan sikap meminta maaf karena menyembunyikan kondisi Mahes. Givana sedang berada di perusahaan Narendra Group mengurus pertemuan yang tidak bisa ditunda. Artha dirangkul oleh Jasmin berjalan mendekati ranjang Mahes. Ganendra duduk di sofa memperhatikan. Terdapat beberapa selang yang menempel di tubuh Mahes termasuk selang oksigen. Mahes tidak membuka matanya.
Sepertinya, Mahes tidur dengan sangat damai. Tidak kesakitan sama sekali atau diberi obat penghilang rasa sakit oleh dokter. Nafasnya teratur tapi pucat sekali. Monitornya tetap berjalan menunjukkan gelombang detak jantung Mahes yang tenang. "Mahes baru saja tidur. Dia bisa tidur setelah diberi obat sama dokter." Jasmin berbisik. "Maafin Artha bu." Jasmin menggeleng memeluk Artha. "Bukan salah kamu nak." Apakah Artha akan menangisi Ganendra juga jika posisinya berbalik? Apakah Artha akan bereaksi seperti itu jika Ganendra juga sakit? Ganendra sudah jatuh dalam lembah berkabut milik Artha. "Bu, Mahes pasti sembuh kan?" Artha menatap Jasmin mencari pancaran positif. "Pasti, Artha. Mahes pasti sembuh." Jasmin meyakinkan dengan rasa ketidakberdayaan. "Artha mau megang tangan Mahes boleh bu?" Jasmin langsung mengangguk mempersilahkan.
Tangan Mahes dingin, tidak hangat seperti biasanya. Bibirnya pucat. Tidak ada tanda-tanda kuat yang terlihat. Mahes sangat-sangat rapuh. Artha meraba tangan Mahes dengan sangat hati-hati, kemudian berbisik di telinga Mahes. "Hes, aku di sini. Kalo di mimpi kamu aku ngga ada, cepet bangun ya. Cepet pergi dari tempat yang tanpa ada aku." Bisikan Artha nyaris hilang karena menahan hujan di dalam dada. Artha beringsut duduk disebelah Ganendra. Bibirnya bergetar menahan suara isakan. "Bu, aku gantiin ibu jaga Mahes ya sampe malem." Pinta Artha. "Terima kasih, nak." Jasmin mengambil tasnya dan berbincang sebentar dengan Ganendra sebelum pergi.
Sudah cukup Jasmin memisahkan Artha dan Mahes. Beruntung sekali Mahes memiliki Artha, pikir Jasmin. Semoga dengan kehadiran Artha, segalanya membaik. Semoga semuanya kembali seperti semula. Jasmin memesan makanan di kantin utama lewat telepon yang disediakan pihak rumah sakit untuk Artha dan Ganendra. Setelah itu, Jasmin pamit. "Ga, kamu ngga pergi ke kelab lagi kan?" Sesaat, Artha teringat. Pandangannya tetap memperhatikan Mahes. "Sorry, gue ngelanggar." Ganendra meringis ketika mendapat tatapan tajam dari Artha. "Gue ke kelab juga pesen lemon tea terus ada urusan." Ganendra mencoba membuat Artha berpikiran baik. "Apa?" tuntut Artha. "Gue mutusin Risella, pacar gue." Artha terhenyak. Ganendra memutuskan kekasih yang namanya terkenal itu? Dan Artha baru mengetahui namanya yang terkenal karena Risella adalah model majalah terkenal. Artha hanya berdehem, takut salah bicara.
Artha berpindah tempat duduk di samping Mahes. Jarinya menyentuh jari-jari Mahes. mencoba menyalurkan rasa hangat namun Artha malah terkena dinginnya. Artha kira, ia sudah sangat mengenal kekasihnya. Tapi ternyata topeng Mahes terlalu banyak macamnya. Mahes masih membohonginya. Apakah Mahes juga berbohong tentang perasaannya? Saat ini saja Artha sudah merasa seperti penjahat karena menyebabkan Mahes menderita. Seandainya jika bisa diputar kembali waktu, Artha tidak akan menuruti permintaan Mahes untuk dibuatkan es kopi. Artha melihat jari Mahes bergerak kecil. Lalu, sepasang mata yang ia rindukan terbuka. "Mahes?" bisik Artha.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEBALIK
Teen FictionHidup tidak selalu sejalan. Mencintaimu pun bukanlah sebuah keinginan. Sebab, patah hati menjadi sebuah keharusan yang ku dapatkan. Karena denganmu, tinta beracun yang ku temukan. Namun, seperih apapun tetap saja bahagia harus ku cipta bukan? -Artha...