Ponsel Artha bergetar dua kali menampilkan notifikasi chat dari Ganendra ketika Artha sedang bermain di lapangan basket bersama anggota lainnya. Niana yang memegang ponsel Artha lantas berteriak memanggil si pemilik. "Tha, ada chat dari Ganendra." Artha mengangguk lalu berlari kecil ke arah Niana. "Ganendra?" tanya Artha. "Iya." Niana memberikan ponsel Artha.
Ganendra
Tha, gue kirim audio. 16:15
Lo mending dengerinnya pas lagi sepi.16:17
Artha pun pergi ke toilet untuk mendengarkan audio yang dikirim Ganendra. Toilet agak ramai karena saat ini jam bebas. Tidak akan ada pelajaran karena UAS sudah selesai. Setelah menunggu dua antrian, Artha bisa memasuki salah satu wc. Bodohnya, ia baru ingat membawa headset di saku roknya. "Ngeselin! Jauh-jauh kesini malah nemu headset." Artha berdecak. Artha mendudukkan dirinya di atas kloset. Kemudian, jemarinnya dengan lincah membuka layar ponsel lalau mengklik audio yang Ganendra kirim.
'Gue ngerasa jadi benalu buat dia.'
'Artha udah banyak berkorban....'
'Perasaan bisa berubah kalo gue niat.'
'Terus gue harus tetep pertahanin dia? Gue bakal ninggalin Artha lebih jauh lagi..'
'Gue ngga mau ngasih dia luka lebih banyak lagi. Sementara gue ngga pernah ngasih dia obatnya.'
'Gue adalah manusia yang paling bersyukur karena disayang sama salah satu bidadari Tuhan yang begitu baiknya sampe gue ngga butuh bidadari lainnya.'
Artha tak berkedip sekalipun sampai audio selesai diputar. Ia tidak menyangka akan mendengarkan kalimat Mahes yang sesungguhnya. Jawaban Mahes yang sejujurnya. Air matanya melolos begitu saja mendengarkan nada putus asa Mahes. Artha tidak tahu jika keputusan yang Mahes ambil adalah demi kebaikan dirinya. Demi kebahagiaan Artha. Hatinya mencelos mengingat kata demi kata yang dilontarkan Mahes. Logikanya bekerja tanpa diminta. Hubungan mereka masih bisa dipertahankan dengan banyak alasan. Tapi, mendengar jawaban Mahes membuat Artha tidak bisa egois. Menurut Artha, keputusan Mahes sudah bulat. Mungkin benar, mengantar kepergian Mahes adalah kesempatan terakhir Artha saat ini.
Jasmin dan Givana sudah bersiap-siap dari pagi petang. Mereka menyiapkan makanan untuk melepas kepergian Mahes. Kali ini, Ganendra turut serta membantu ibu dan mamahnya. Masih tersisa waktu tiga jam lagi sebelum keberangkatan mereka ke bandara mengantar Mahes. Ganendra berharap Artha akan datang tepat waktu. Mahes menuruni tangga dengan membawa koper besar berwarna hitam dengan ransel abu-abu. "Bu, mah, ko masaknya banyak gini?" Jasmin menarik Mahes untuk duduk disebelah Ganendra. "Biar lo ngga mewek di sana nangisin sambel bajak ibu yang enak." Nyinyir Ganendra. Mahes reflek memukul Ganendra dengan sendok yang ada didepannya. "Wah kekerasan dalam persaudaraan lo." Ganendra hendak membalas tapi Givana sudah menginterupsi. "Sudah, nanti lagi berantemnya. Ayo makan." Jasmin hanya tersenyum melihat tingkah mereka.
Mahes, Ganendra, Jasmin dan Givana pergi ke bandara menggunakan mobil Pajero Sport milik Jasmin. Sebelum menuju bandara, mereka datang mengunjungi makam Narendra, sang kepala keluarga. Jasmin dan Givana menaruh buket bunga masing-masing di atas pusaran Narendra. "Pah, Mahes pamit berangkat." Mahes mengelus nisan sang papah. "Pah, Ganendra pamit nganter Mahes." Givana mencubit Ganendra dengan gemas. "Endra, serius." Ganendra hanya merapatkan mulutnya tanda serius. Jasmin tidak mengtakan apa-apa. Pesan yang ingin ia sampaikan hanya jauh di dalam lubuk hatinya. 'Mas, anakmu sedang menciptakan jalan hidupnya sendiri. Doakan dia. Restui dia.' Jasmin tersenyum mengakhiri permintaan dalam hati.
Artha melirik jam tangannya menunjukkan pukul 09.30 AM. Dengan mulut berkomat-kamit, Artha berdoa agar sampai tepat waktu di bandara. Pak Denis mengerahkan segala keahlian dalam mengemudi agar sang nona cepat sampai di bandara. "Pak, masih lama?" Raut wajah Artha cemas. "Tenang neng, bentar lagi ini." pak Denis menatap Artha dari spion depan. Beruntung lampu lalu lintas selalu hijau ketika Artha melintas membuat perjalanan lancar. Artha segera keluar dari mobil ketika mobil berhenti di pintu masuk bandara. Kakinya berlari dengan tergesa-gesa menuju pntu masuk pesawat yang diberitahu oleh Ganendra melalui chat.
Mahes tiba di bandara lebih cepat karena gaya kebut Ganendra. Jasmin dan Givana masih berdebar karena anak mereka yang tiba-tiba menjadi pembalap. Sedangkan ganendra melenggang dengan santainya. "Hes, ibu sama mamah mau ke toilet dulu ya." Mahes mengangguk. Ganendra menarik Mahes duduk di dekat layar jadwal keberangkatan. "Lo sih pake ngebut segala. Kasian ibu sama mamah." Mahes mengkritik. "Biar cepet sampe geblek. Acara pelepasan pasti lama." Ganendra tersenyum tipis. "Maksud lo?" Ganendra menujukkan cengirannya menatap seseorang agak jauh di depan mereka. Mahes dengan polosnya mengikuti tatapan Ganendra.
Kedua mata mengerjap beberapa kali menyesuaikan kenyataan dengan ekspetasi. Pandangannya terpaku pada sosok gadis bersurai hitam sebahu yang memakai kaos polos lengan panjang berwarna army dipadukan dengan jeans dan sepatu kets berwarna senada dengan bajunya. Manik mata hangat namun rapuh ialah Artha. "Artha!" sahut Ganendra dengan suara lantang. Artha menengok ke arah suara barusan. Ia melihat sosok yang baru saja dicarinya. Mahes melangkah lebih dahulu menghampiri Artha meninggalkan Ganendra. Dengan mata berbinar Artha mempersempit jarak pada Mahes.
"Tha.." Mahes memeluk Artha dengan lembut. Hidungnya menghirup aroma gadisnya berbau khas parfum vanila. Artha pun melakukan hal yang sama. menghirup aroma parfum Mahes, mengingat sebanyak-banyaknya agar tidak lupa. "Tha, lo ngapain di sini?" Mahes memegang kedua bahu Artha. "Aku mau liat kamu pergi." Air mata yang ditahannya sukses bercucuran. "Tha, jangan nangis." Mahes menatap Artha hangat. "Iya aku ngga nangis." Artha mengusap air matanya dengan tangan. "Kamu baik-baik ya di sana. Jaga kesehatan, makan yang banyak. Gendut juga gapapa bagi aku." Artha mendongak menatap wajah Mahes yang terlihat lebih tampan. "Lo yakin masih suka sama gue kalo gue gendut?" Artha mengangguk cepat.
Mahes hanya geleng-geleng kepala menanggapi Artha. "Lo, jangan mikirin gue. Lo harus sering main sama temen-temen lo. Kalo ada yang ngedeketin lo, coba aja dulu." Mahes mengelus puncak kepala Artha dengan sayang. "Emang undian coba-coba berhadiah?" Artha mencebik kesal. "Gue adalah manusia yang paling bersyukur karena disayang sama salah satu bidadari Tuhan yang begitu baiknya sampe gue ngga butuh bidadari lainnya." Artha tahu kalimat itu. Kalimat yang Artha ingin Mahes perjuangkan namun sekarang bukan waktunya. Artha langsung mendekap Mahes mencoba menyalurkan segala rasa yang ada. "Tha, gue pergi." Artha tersenyum mengiyakan dengan hidung memerah karena tangisnya sempat tidak tertahan. "Hes, jaga ginjal kamu." Mahes tersenyum menenangkan kekhawatiran Artha. Jasmin dan Givana yang sudah kembali langsung menghampiri Mahes dan Artha disusul oleh Ganendra.
"Janji sama gue-aku kalo lo-kamu udah punya yang baru." ucap Artha dan Mahes serempak pada saat yang bersamaan. Ganendra pun dengan cepat mengabadikan momen-momen hari ini. memotret keluarga kecilnya dengan sedikit bumbu romansa Artha. "Mahes sudah waktunya nak. Nanti, menu makanmu diatur sama dokter Edwin di sana." Jasmin memeluk erat Mahes. "Hati-hati nak. Jaga kesehatan, jaga pergaulan ya. Ibu aman bersama mamah dan Ganendra." Givana memeluk Mahes sebentar. "Titipan gue jangan lupa." Ganendra menepuk pundak Mahes sebanyak dua kali tanda perpisahan ala cowok. "Gue lupa titipan lo apa." Mahes berpura-pura. "Lo lupa? Artha taruhannya." Artha menginjak sepatu Ganendra dengan keras. "Aduh! Tha bercanda gue." Ganendra mengaduh membuat yang lain terkekeh.
Mahes pergi menuju pintu masuk pesawat. Air mata Artha mengalir seperti sungai yang bertambah deras seiring langkah Mahes semakin menjauh. Mahes membalikkan badannya melihat keluarga dan gadis yang dicintainya sekali lagi. Demi kebaikan semuanya, ia tahu keputusannya adalah hal yang tepat. Artha ingin berlari memeluk Mahes sekali lagi tapi logikanya menolak. Hatinya akan lebih berat melepaskan jika ia terus saja menahan Mahes. Tangisnya mereda kala Mahes sudah hilang dari pandangan. Perlahan, pikiran-pikiran baik datang padanya. Menguatkan Artha bahwa jauhnya jarak tidak akan bisa menentang kuasa Tuhan. "Toh kalo jodoh, ngga akan kemana."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEBALIK
Teen FictionHidup tidak selalu sejalan. Mencintaimu pun bukanlah sebuah keinginan. Sebab, patah hati menjadi sebuah keharusan yang ku dapatkan. Karena denganmu, tinta beracun yang ku temukan. Namun, seperih apapun tetap saja bahagia harus ku cipta bukan? -Artha...