Mahes terbangun dari tidurnya. Mahes bermimpi bertemu sang papah. Bukan pertanda baik sepertinya. Tapi Mahes tidak ingin memikirkan kemungkinan yang akan terjadi padanya. Merasa ada seorang gadis yang bukan ibunya, Mahes melihat siapa yang sedang menatapnya tanpa bicara. "T–Tha." Mahes tersenyum tanpa tenaga. Ganendra mengamati ekspresi Artha yang kosong, tidak ada ekspresi senang ketika Mahes sadar. Matanya dihiasi genangan-genangan kecewa. "Aku mau nanya." Mahes mengangguk. Nada suara Artha tidak jernih karena tangisannya yang tidak benar-benar berhenti. "Aku ngga penting buat kamu." Tunggu, itu pernyataan. Artha memberikan pernyataan bukan pertanyaan. "Kamu bohong sama aku soal syukuran tim, Mahes. Jelasin sama aku yang sebenernya!" Artha tidak sabaran.
Ganendra mengatur ranjang Mahes agar Mahes bisa setengah duduk untuk lebih leluasa berbicara dengan Artha. "Gue cuma ngga mau lo kepikiran. Lo lebih penting buat gue daripada berita vonis dokter." Mahes membela diri. "Orang yang udah aku anggep keluarga pasti aku kasih tau semua kabar aku, Hes. Mau sehat ataupun sakit, aku tetep kasih tau mereka. Temen-temen aku dan kamu itu orang pertama yang aku kasih tau lebih dulu. Karena itu akan bikin mereka ataupun kamu ngerasa dihargai Hes. Kamu pernah ngga sih mikir kalo kamu di posisi aku, gimana rasanya? Kasih tau aku gimana rasanya?!" setiap kata yang dilontarkan Artha memang tidak lantang tapi banyak penekanan. Tak ada jawaban dari Mahes. Ganendra menepuk-nepuk pundak Artha karena tangisnya pecah lagi. Karena ponselnya bergetar, Ganendra izin keluar sebentar untuk menjawab telepon dari sang mamah.
"Tha, ini yang terbaik. Lo lebih baik ngga tau masalah gue daripada gue bikin lo panik." Mahes mencoba memberikan pengertian. Artha mengusap dahi menyiratkan rasa pening tak terlihat. "Kamu kira kalo aku terlambat tau, aku bakal baik-baik aja? Aku bakal lebih dari sekedar panik Hes! Kemungkinan terburuk bahwa aku cuma punya sedikit waktu atau ngga punya sisa waktu sama sekali untuk liat kamu, denger suara kamu, ngobrol sama kamu itu yang bikin aku kacau Hes!" kedua tangan Artha meremas besi kursi untuk menahan amarah.
"Hubungan ini ngga bisa jalan kalo kamu masih berpikir aku cuma harus tau bagian terbaiknya aja." Artha menatap Mahes yang masih diam menatap lurus ke depan. "Gue ngga mau ngebebanin siapapun Tha. Lo, Ganendra, mamah apalagi ibu! Lo harusnya ngerti, gue mau cepet selesain ini!" Mahes tidak sengaja berteriak. "Dengan cara bikin aku ngerasa jadi penjahat karena nurutin permintaan kamu? Kenapa? Kenapa kamu ngelakuin ini? Kamu mau nyiksa aku selama sisa hidup aku? Kalo kamu mau ngilangin sakitnya, kamu harus optimis sembuh dan nurutin aturan dokter! Bukan malah memperparah keadaan, Maheswara!" Ini pertama kalinya Artha menyebut nama lengkap Mahes. Artha tidak habis pikir. Ketika Mahes meminta minuman soda saat di rumahnya, apakah Mahes ingin cepat mati?
"Cepat atau lambat, gue pasti bakal ninggalin lo, Artha. Gue tau lebih dari siapapun sisa waktu gue!" Mahes melempar vas bunga yang terletak di nakas dengan rasa frustasi. Tubuh Artha bergetar saat mendengar pecahan vas bunga berdenting di lantai. "Sejak kapan kamu alih profesi jadi cenayang? Apa karena kamu udah ngga bisa main basket lagi jadi ngerasa bakal mati? Kalo pemikiran kamu kaya gitu, kamu bisa tinggalin aku sekarang tanpa harus mati lebih dulu. Aku ngga akan nangis karena ini bukan pertama kalinya." Artha sarkas. Berdebat tidak akan ada akhirnya. Artha mengambil sling bagnya melangkah pergi begitu saja meninggalkan Mahes yang merasa bersalah. "Gue ngga bisa hidup kalo ngga ngebasket Tha." Mahes mengeluarkan desahan depresinya mengingat kenyataan yang tidak pernah ingin ia dengar.
Ganendra sejak tadi bersembunyi di samping pintu kamar ruang rawat Mahes mendengarkan pembicaraan yang berlangsung agak lama dengan suasana panas membara. Ganendra memasuki ruang rawat membawa kopi dan pesanan makanan yang tadi dipesan oleh Jasmin ketika Artha memasuki lift. "Lo harusnya ngga ngerusak fasilitas rumah sakit." Ganendra mengambil pecahan vas bunga yang berserakan di lantai. "Asal lo tau, bunga mawar itu ibu yang beli. Ibu pasti marah kalo tau." Ganendra bergidik.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEBALIK
Teen FictionHidup tidak selalu sejalan. Mencintaimu pun bukanlah sebuah keinginan. Sebab, patah hati menjadi sebuah keharusan yang ku dapatkan. Karena denganmu, tinta beracun yang ku temukan. Namun, seperih apapun tetap saja bahagia harus ku cipta bukan? -Artha...