Mahes kembali dari Kejuaraan Nasional kemarin sore. Artha sudah membaik. Jahitan di kakinya sudah mengering. Kemungkinan besok Artha diperbolehkan pulang. Mahes datang guna melepas rindu pada kekasihnya itu dengan membawa boneka beruang yang membawa bola basket. Artha sudah pasti senang. Ow, ada yang lebih senang dari Artha. Niana melihat Mahes datang bersama Haragi. Siapa yang menduga? Secepat kilat Niana langsung membawa Haragi keluar dari ruangan.
"Jadi, gimana kaki lo?" Mahes memandang perban kaki Artha. "Udah ngering sih lukanya. Besok juga bisa pulang. Selamat ya, kamu bikin semua orang bangga." Artha mengacak-acak rambut Mahes walaupun harus berusaha keras mencapai puncak kepala cowok dengan tinggi 172 cm. "Makasih. Gue seneng, kemenangan gue bisa bikin luka lo baikan." Mahes menaruh boneka di pangkuan Artha yang setengah terbaring. Ponsel Mahes berdering. Mahes segera mengangkat telepon tanpa pikir panjang lalu menutupnya secepat kilat dengan tegang. "Kenapa?" Artha bertanya-tanya. "Ganendra udah siuman. Gue disuruh nemuin dia." Artha menggenggam tangan Mahes. "Dia mau ngejelasin kronologinya." Artha menduga. "Gue balik kesini secepetnya. Gue nanti suruh Niana sama Agi kesini." Mahes mengelus rambut Artha sebentar kemudian pergi. "Oh iya kok Mahes bisa kenal sama Agi? Duh lupa lagi mau nanya." Artha membuang napas kasar.
Mahes berjalan cepat meintasi lorong-lorong rumah sakit. Plang ICU sudah terlihat di depan. Mahes memasuki ruangan menuju kasur nomor empat. Kasur dengan nama pasien Ganendra. Dengan infus lebih dari satu, Ganendra menatap Mahes dengan tatapn lemah. Givana menarik lembut Mahes agar duduk di sebelah ganendra menggantikan dirinya. "Kasih tau gue." Mahes memulai. Ganendra mengatur napasnya untuk bercerita. "Pagi itu.."
08:30 AM
Sebelum berangkat ke kantor, Givana menyiapkan sarapan untuk Ganendra. Puteranya bangun siang kala libur atau dispen seperti sekarang. Karena besok Ganendra dan teman-teman berangkat untuk Kejuaraan Nasional, mereka mendapatkan dispensasi dari sekolah. Lalu, seseorang mengetuk pintu rumah. Givana penasaran siapa yang mengunjungi rumahnya. Dilihatnya seorang anak muda berperawakan kurus dan tinggi dengan wajah familiar. Givana tersadar, tamunya adalah teman sang putera. "Siapa ya?" Wildan, cowok itu menyalimi Givana dengan sopan. "Saya Wildan tante. Satu tim sama Ganendra." Givana lantas tersenyum "Oh ya, masuk nak. Sebentar ya, tante panggilkan Ganendra dulu." Wildan dipersilahkan masuk, menunggu di ruang tamu. Sementara Givana menuju kamar ganendra.
"Endra, ada temenmu. Itu namanya Wildan." Ganendra membuka pintu bewajah khas baru bangun tidur. "Ngapain dia mah?" Ganendra mengucek matanya. "Mamah nggatau. Udah, temuin sana. Mamah mau berangkat. Sarapan ada di meja ya." Ganendra mengangguk lalu memeluk mamahnya sebentar. Givana dan ganendra menuruni tangga bersama dan berpisah di lantai bawah.
Wildan tersenyum melihat ganendra. "Rapat dimajuin?" Ganendra langsung bertanya. "Ngga. Gue mau ngomong sama lo." Ekspresi Wildan berubah sinis. "Gue tau lo sodaraan sama Mahes. ups, sodara tiri sih tepatnya." Ganendra tercekat. "Lo tau dari mana, bangsat?!" Wildan terkekeh. "Lo lupa? Informan yang lo suruh kan asalnya dari gue." Ganendra naik darah. "Mau lo apa?!"
Wildan menepuk-nepuk sofa yang didudukinya, santai. "Lo ngga usah ikut kejuaraan. Lo mundur dari basket atau gue sebarin hubungan lo sama Mahes yang sebenernya? Gue yakin Mahes ngga akan seneng kalo itu terjadi karena dia mati-matian nutupin jati dirinya." Ganendra berdiri menarik baju Wildan. "Pengecut lo! Make rahasia orang buat ngejatuhin gue. Lo seiri itu sama gue karena Mahes ngga pernah milih lo buat jadi partner basket satu lawan satu?" Wildan menatap Ganendra garang. "Gue benci Mahes lebih care sama lo." Ganendra tertawa. "Sejauh itu obsesi lo buat berteman sama Mahes, psycho!" Wildan menarik diri dari Ganendra. "Kalo lo tetep ikut, gue pastiin juga video-video lo di kelab tersebar sampe ke mamah lo." Wildan pergi meninggalkan Ganendra. Sepintas, Ganendra melihat Wildan berhenti di depan motor besar kesayangan sang pemilik rumah. Namun Ganendra tidak memeriksa. Ia malah menaiki lantai dua menuju kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEBALIK
Teen FictionHidup tidak selalu sejalan. Mencintaimu pun bukanlah sebuah keinginan. Sebab, patah hati menjadi sebuah keharusan yang ku dapatkan. Karena denganmu, tinta beracun yang ku temukan. Namun, seperih apapun tetap saja bahagia harus ku cipta bukan? -Artha...