"Iya, hubungan ini harus selesai." Artha memandang percikan air hujan yang mengenai lantai. "Tha, maafin gue." Mahes menangkup wajah Artha. Memaksa Artha melihat dirinya. "Gapapa, itu pilihan kamu." Artha tidak tersenyum dan tidak terlihat sedih. Artha tidak ingin tahu alasannya. Artha lebih menunjukkan tatapan penuh tapi tidak terlihat isinya. "Jodoh ngga akan kemana, Tha. Percaya sama gue." Mahes mencoba menelisik ekspresi gadis itu. "Iya, kata bi Ningti juga gitu." Mahes penasaran siapa itu bi Ningti tapi tidak penting sekarang. "Kita masih bisa saling ngabarin kayak biasanya." Artha hanya tersenyum tipis sekali. Bagi Artha, bertukar kabar seperti biasanya hanya akan membawa dampak buruk.
Situasi ini membuat nyeri dibagian jantung. Detak jantungnya berkali lipat lebih cepat seperti terkena serangan jantung. Kepalanya memberat menopang beban tak kasat mata yang sangat berat. Luka lamanya terbuka secara sempurna, di waktu yang sama. Mata Artha tidak basah. Atau belum basah. "Tha, lo itu sempurna. Tapi bukan buat gue. Lo salah persinggahan." Artha berdiri berjalan pelan dengan kedua tangan Artha menengadah menampung hujan yang jatuh dari genting rumah. "Ini bukan tentang persinggahan. Mungkin, kamu yang nganggep aku sebuah kesalahan." Artha sukses membungkam Mahes.
"Hes, hujannya udah reda. Kamu naik apa kesini?" Artha memutar badan melihat Mahes. "Oiya gue naik motor." kilah Mahes. Artha pun tahu sebenarnya Mahes memakai mobil. Namun, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi di sini. Tidak ada yang penting lagi mengenai hal ini. "Gue pamit, Tha." Artha mengangguk tanpa mendekat pada Mahes. "Hati-hati." Hanya itu kalimat terakhir Artha sebelum Mahes menghilang dari pandangan.
Artha mendengar suara mobil menjauh dari pekarangan rumahnya. Kedua kakinya pergi memasuki taman pribadi. Balon-balon yang terpasang dilepas perlahan. Pita-pita berwarna emas yang terlilit di pepohonan kecil dilepas juga. Artha melepas seluruh hiasan yang sudah terpasang di area taman dalam keadaan hujan-hujanan. Gaun cantik yang ia pakai telah lusuh karena basah. Wajahnya dihias rintik-rintik air mata yang tertutup hujan. "Mahes.." Artha berguncang hebat. Tubuhnya meluruh ke tanah seraya menggenggam pita dekorasi. Isakannya tidak dapat ditahan lagi. Artha menangis sekencang-kencangnya. Artha terluka untuk yang kedua kalinya. Segala emosi tumpah ruah dalam ruang terbuka berteman dengan kesunyian.
Setelah puas menangis, Artha memasuki rumah dengan langkah cepat mengarah ke dapur. Bahan-bahan kue ia simpan ke dalam lemari penyimpanan bahan makanan. Kue polos yang baru matang ia masukkan ke kulkas.
Bi Ningti dan mama Artha tidak tahu mengapa gadis itu terlihat kacau dan membereskan persiapannya. "Neng, kok kuenya dimasukin ke kulkas?" bi Ningti memberanikan diri buka suara. "Buat besok bi. Acara pengajian ibu-ibu komplek kan nanti pagi. Artha mau nyumbang kue nanti dibawa sama mama." Artha menjawab tanpa melihat lawan bicaranya, sibuk dengan gulung persiapan. "Makasih sayang. Ibu-ibu komplek pasti suka." Mama Artha pura-pura sumringah ketika mendengar jawaban puterinya. Mama Artha mengode bi Ningti agar mendekat. "Artha ptah hati, bi." Bisik mama Artha lesu. Bi Ningti yang mendengarkan penuturan sang nyonya hanya manggut-manggut dengan tatapan iba. Nonanya ini sedang berada di fase pendewasaan.
Selepas membereskan dapur, Artha pergi mengunci diri di kamar. Artha menutup wajahnya dengan selimut. Ia kembali menangis tersedu-sedu. Hidung Artha merah, matanya pun berwarna kontras dengan hidungnya. "Tepat tiga tahun lalu, kamu ngelakuin hal yang sama." artha menutup matanya mengingat kilas balik yang melukainya sampai sekarang. Artha melihat keluar jendela memperhatikan pemandangan di jalan kompleknya. "Aku juga manusia yang punya batas tahan sakitnya. Dan kamu, manusia yang ngga pernah ngasih obat luka setelah bikin aku patah dan pergi gitu aja." Artha menyentuh kaca jendela. Menyalurkan segala kesakitannya lewat tangisan belaka. Ia tidak bisa bercerita kepada siapa-siapa. Terlalu keluh untuk mengatakan yang dialaminya sekarang.
Seolah perjuangannya sia-sia saja. Bagaimana ia berusaha selalu ada, bagaimana ia bertahan dalam segala kepedihan, bagaimanapun ia selalu mencoba menjadi sosok yang Mahes butuhkan. Tapi sepertinya, Artha tidak pernah cukup dalam melakukan perannya. Mahes meninggalkan dirinya. Mahes memutuskannya di waktu yang sama, di malam saat esok hari ulang tahunnya. Artha meringkuk dalam tidur dengan air mata yang masih menggenang tiada hentinya mengalir pelan. Deringan telfon dari Ganendra tidak digubris Artha ketika waktu mendekati tengah malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEBALIK
Teen FictionHidup tidak selalu sejalan. Mencintaimu pun bukanlah sebuah keinginan. Sebab, patah hati menjadi sebuah keharusan yang ku dapatkan. Karena denganmu, tinta beracun yang ku temukan. Namun, seperih apapun tetap saja bahagia harus ku cipta bukan? -Artha...