GORESAN

2 0 0
                                    


Setelah UAS, kegiatan belajar mngajar sudah usai. Seluruh siswa hanya tinggal memenuhi absen kehadiran sampai buku laporan hasil belajar dibagikan. Tahun ajaran yang akan datang, Artha dan Niana akan menjadi senior yang dituakan. Kelas akhir sudah di depan mata mereka. Tidak terasa, seolah semuanya berlalu dengan cepat. Kantin adalah tempat yang akan sangat dirindukan nantinya. Mengingat mereka senang membolos ketika guru tidak hadir di kelas. Bermodal memberikan setumpuk tugas, mereka kerjakan di kantin bersama ditemani jajanan yang beragam.

"Eh lo udah tau Mahes bakal lanjut kemana?" Niana melahap bakso terakhir miliknya. "Ngga tau, belum nanya." Artha menjawab acuh tak acuh. Ia teringat saat ini Mahes sedang mengikuti Ujian Nasional susulan. "Agi bakal kuliah pake beasiswa penuh klub basketnya. Belum tau bakal dapet kampus apa tapi yang jelas di luar kota." Nada Niana berubah tak semangat. Siapa yang senang berjauhan dengan pacar? Mungkin, mereka yang sedang bosan. "Bagus dong. Biar bisa nyelengin rindu, kayak lagunya Fiersa Besari." Artha menggoda Niana. "Gue tuh paling ngga bisa ldr-an." Niana memberenggut. "Semua hubungan pasti ada rintangannya, Ni. Ngga mungkin deket terus, ngga mungkin damai terus. Kalo lempeng, ngga seru." Artha berujar santai.

"Apa Cuma gue yang ngerasa lo mulai ngga minat ngomongin Mahes?" Niana sadar betul gelagat sahabatnya. Seharusnya, Artha yang berkicau apalagi tentang asmara. Biasanya Niana hanya diam mendengarkan. "Ngga ada yang penting buat digibahin." Artha menghabiskan es jeruknya. "Btw, Mahes hari ini pulang kan?" Artha berpikir sebentar. "Iya, ntar sore pulang. Mau kesana?" tawar Artha. "Nggalah kan lo yang berkepentingan. Lagian gue juga mau jalan sama Agi." Artha manggut-manggut.

Artha duduk di warung mak Na menunggu Ganendra menjemputnya. Artha bisa saja pergi sendiri tapi dilarang Ganendra. Katanya, hemat ongkos. Tidak ingin memperdebatkan, Artha setuju dengan saudara tiri pacarnya. "Mak, Artha bentar lagi jadi senior akhir." Ungkap Artha dengan bangga. Mak Na mengacungkan kedua jempolnya turut senang. Lalu, tangannya sibuk menuliskan sesuatu di buku catatan kecilnya. Neng jangan malas ya. Biar pas lulus bisa malas-malasan. Artha nyengir membaca note dari mak Na. "Siap, mak. Artha bakal lebih rajin." Mak Na tersenyum lebar. Walaupun mak Na tidak bisa bicara tetapi ia bisa mendengar. Banyak siswa yang datang hanya karena butuh pendengar yang baik seperti mak Na untuk dijadikan tempat curhat. Mak Na dengan senang hati mendengarkan mereka.

Ganendra datang tapi membawa motor melainkan mobil. Sangat aneh Ganendra mau repot-repot memperlihatkan mobilnya di depan umum. "Tumben bawanya mobil pribadi." Sindir Artha. "Kan sekalian mau bawa barangnya Mahes. Males juga gue sebenernya bawa si Bumblebee." Ganendra mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Artha tidak tahu Ganendra dapat pencerahan dari mana sampai menamai mobil kesayangannya menggunakan nama robot dalam film. "Udah makan?" mobil Ganendra berhenti ketika lampu merah menyala. "Udah. Btw, bunga di jok belakang buat cewek baru?" Artha mengintip dari spion depan. Terlihat sebuah buket bunga berwarna-warni. "Ke papah dulu bentar disuruh mamah." Artha hanya menggumam sebagai jawaban.

Artha keluar dari mobil sport milik Ganendra. Waktu kepulangan Mahes masih lama. Pantas saja Ganendra cepat-cepat menjemput Artha. Ganendra menepatkan dirinya disamping gadis berambut sebahu itu. Mensejajarkan langkahnya dengan Artha. Tibalah mereka di bukit utama, makam Narendra. "Pah, ini bunga dari mamah." Ganendra meletakkan buket bunga di atas gundukan tanah berumput tersebut. "Ibu lagi sibuk ngurusin Mahes jadi ngga sempet bawain bunga. Tapi ibu titip salam." Ganendra berdiri menunggu Artha yang masih berjongkok. "Om hebat, punya anak-anak sebaik dan seganteng mereka. Om makan apa sih sampe cetakannya bagus gitu?" Artha cemberut. "Om jangan khawatir. Biar Artha yang jagain mereka." Artha mengusap nisan Narendra lalu bangkit disebelah Ganendra. "Ayo." Artha berjalan lebih dulu meninggalkan Ganendra yang masih tertegun akibat perkataan Artha barusan.

Barang-barang Mahes sudah terbungkus rapih. Hanya tinggal menunggu Dr. Odi datang memberikan surat pengantar kepulangan. Mahes duduk di sebelah Artha dengan kaku. "Tha, kapan hasil UAS dibagiin?" Mahes berbasa-basi. "Mungkin minggu depan. Baru juga kelar minggu kemarin." Artha bersender pada sofa, memainkan ponselnya. "Jangan bandel, Hes. Aku ngga mau kamu kenapa-napa." Artha menatap Mahes serius. "Iya gue janji." Mahes membalas tatapan tajam Artha tapi meneduhkan. Bisa Mahes lihat, ada tatapan rapuh nan pilu di sana. Jauh di dalam mata Artha. Mungkinkah itu karena dirinya?

"Oh iya setelah lulus, kamu mau lanjut kemana?" Artha tiba-tiba mengingat pertanyaan Niana. "Gue mau kuliah bisnis sama Ganendra. Tapi masih diskusiin tempatnya." Mahes mengalihkan pandangannya ketika menjawab. "Diskusi dari mana lo? Lo maksa minta di luar negeri sialan! Gue ngga mau kuliah jauh. Kasian mamah sama ibu." Sergah Ganendra. Mahes menatap saudara tirinya dengan tatapan membunuh seakan siap menerkam sekarang juga. Artha tidak bergeming membuat Mahes makin merasa bersalah. Ketika hendak menjelaskan, Dr. Odi datang membuat Artha meninggalkannya guna mengambil barang-barang untuk ditaruh di bagasi mobil Ganendra.

Di rumah sudah ada Givana dan Jasmin yang sengaja tidak ke rumah sakit untuk membersihkan rumah. Mereka membawa tas dan barang-barang ke dalam rumah untuk dibereskan. Sedangkan Ganendra membawa Artha dan Mahes ke balkon atas rumah. "Gue mau bantu mamah sama ibu dulu. Kalian di sini aja." Artha meng-iyakan. "Tha, lo kalo mau marah juga gapapa." Mahes buka suara. "Aku ngga mau debat. Kalo keputusan kamu adalah kuliah ke luar negeri, ya aku dukunglah." Atha menghirup udara sejuk setelah hujan dengan nyaman. "Lo nerima kita jauhan?" Mahes bertanya dengan nada terkejut. "Aku mau kamu sukses, itu aja. Emang salah ya ngebolehin pacar aku buat menimba ilmu di negeri yang beda sama aku?" Artha menghampiri Mahes, menautkan kedua tangan mereka.

"Aku udah bilang. Aku ngga nuntut apapun. Aku cuma minta jaga kepercayaan aku. Soalnya, kepercayaan itu mahal. Ngga bisa diganti sama yang lain. Sedikit kegores, fatal akibatnya. Kayak kertas kalo kecoret dikit ngga bisa ilang tintanya. Walaupun ilang karena tipe-x, bekasnya pasti ada." Artha tersenyum. Mahes merasa dunianya berhenti sebentar. Bukan untuk merasa bersyukur. Melainkan Mahes merasa semakin tidak pantas untuk menjadi pendamping Artha karena ia sudah banyak menyakiti gadis itu. Gadisnya terlalu baik untuk seorang Mahes. Lantas, harus seburuk apakah Artha agar pantas didampingi Mahes?

Mahes mengetuk kamar Ganendra yang berjarak tidak jauh dari kamarnya. "Masuk." Ganendra setengah berteriak dari dalam kamar. Pemilik kamar sedikit tersentak mengakibatkan aksi bermain gitarnya berhenti ketika yang datang adalah saudara tirinya bukan sang mamah atau ibu. "Ngapain lo? Bukannya istirahat malah ngapelin gue." Ganendra kembali memetik gitarnya. "Gue mau nanya." Mahes duduk di kursi baca menghadap Ganendra. "Apaan sih?" Ganendra sedikit risih melihat tingkah Mahes seperti ingin mengungkapkan cinta. "Lo masih suka main ke kelab?" Ganendra hanya mengangguk datar. "Gue mau ikut lo ke kelab."

Seketika alunan suara gitar berhenti. Suara jangkriklah sebagai penggantinya. "Lo yang dioperasi apa sih? Gue curiga. Jangan-jangan operasi sifat lo ya?" Mahes mendengus kesal. "Gue serius. Gue mau nyari hiburan." Ganendra berdecak sebal. "Geblek! Kalo mau nyari hiburan ya genjringan lo sana di balai desa. Bukannya clubbing ngikutin jejak gue." Ganendra heran dengan sikap saudara tirinya pasca operasi. Apakah Dr. Odi salah melakukan prosedur? "Gue cuma nongkrong doang di sana juga. Ngga bakal aneh-aneh." Ucap Mahes. Ganendra dengan tangan terangkat tanda menyerah melawan ego Mahes.

Pengumuman hasil Ujian Nasional yang ditnggu-tunggu telah tiba. Semua kelas XII berhamburan menuju papan mading terdekat untuk mengetahui nilai mereka. Seperti Mahes dan Ganendra yang menempati peringkat sepuluh besar dalam jejeran nilai tertinggi. Dengan bangga, Mahes dan Ganendra membuat euforia bersama tim basket angkat mereka dengan makan baso bareng-bareng. "Nanti malem ke kelab gimana?" ajak Diga. "Mantep tuh kelab langganan Ganendra aja." timpal Yunaf. "Boleh juga." Si kapten Mahes berpendapat. "Geblek lo ngga boleh ikut. Masih kecil lo." Ganendra melarang ganendra. "Apasih lo kan kita udah sepakat waktu itu sialan." Ganendra memilih menghabiskan baksonya ketimbang debat dengan Mahes.

Artha sedari tadi mengganti channel televisi dengan bosan. Ia menunggu Niana datang lama sekali. Mereka berniat pergi ke salah satu mall di tengah kota untuk sekedar melepas penat. Hanya saja, malam ini akan terasa panjang bagi Artha karena Niana mengajak kekasihnya, Agi. Sebuah mobil mengklakson di depan rumah Artha. Dengan sigap Artha mengambil sling bag-nya lalu pamit sebentar kepada bi Ningti, asisten rumah tangganya.

Artha sampai di mall sekitar dua puluh menit. Beruntunglah Niana paham sehingga tidak bermesraan dengan Agi. Mereka berhenti di salah satu distro hanya untuk melihat-lihat. "Bagus yang mana Gi?" tanya Niana. "Menurut gue ini bagus, yang." Niana mengangguk melihat kaos oblong berwarna hitam berrcorak batik. Artha menatap baju-baju dengan malas. Tiba-tiba, ponselnya bergetar cukup lama. Panggilan dari nomor tak di kenal. Siapa ya? Sebuah chat masuk berupa foto. Pap dari seseorang. Gambar suasana kelab yang sangat Artha kenal. Terdapat Ganendra yang sedang bercengkrama dengan Diga dan Yunaf. Dan terdapat satu sosok lagi. Sosok yang Artha tangkap sedang memeluk pinggang wanita penghibur dengan sadar atau tanpa sadar.

"Mahes?!" Artha lemas.

SEBALIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang