SEMULA

1 0 0
                                    

Polisi menangkap Wildan di kelab saat sedang pesta narkoba. Sehingga hukuman Wildan akan bertambah. Sebenarnya, Wildan adalah seorang anak yang ditinggal orang tuanya di depan panti asuhan dan beruntung diadopsi oleh keluarga kaya. Namun luka lama tidak bisa sembuh sampai masa remajanya tiba. Obsesinya yang ingin diutamakan karena ia selalu mendapat posisi kesekian dalam pertemanan maupun pendidikan mengakibatkan ia melakukan hal yang tidak dibenarkan. Patah hatinya sangat dalam sampai tidak ada yang tahu jika cowok ramah itu tidak sebaik yang dikira.

Malik datang menjenguk Ganendra. Sejak kemarin, Ganendra sudah dipindahkan ke ruang rawat karena kondisinya semakin membaik. Malik membawa Diga dan Yunaf yang memang sudah sangat rindu dengan Ganendra. "Kamu seharusnya ikut kemarin, Ndra. Posisi kamu sebagai shooter pasti lebih menguntungkan lawan juara 1 tahun lalu." Malik menyayangkan. "Iya Ndra. Banyak cewek cantik juga. Beuh, si Yunaf dapet satu bro digebet." Yunaf menyikut Diga karena malu. Akhirnya, Ganendra tertawa. Ringan sekali tawanya, sangat natural tanpa rasa sakit. "Maaf coach, Nendra juga nyesel ngga bisa berpartisipasi setelah latian lama." Malik menepuk pelan bahu Ganendra memaklumi. "Ndra, kita tau cerita yang sebenernya. Mahes udah ceritain semuanya termasuk hubungan keluarga kalian. Dan kita minta maaf atas nama Wildan." Yunaf merasa bersalah. "Kalian ngga perlu ngelakuin ini. Tapi, makasih udah tetep baik sama gue. Maafin gue, maafin Nendra coach karena video yang kesebar luas itu." Ganendra tertunduk. "Kamu tau tidak? Karena perbuatanmu, saya tertantang bikin sesuatu yang beda. Strategi yang dipake kemarin itu bener-bener baru. Dan kita menang." Coach Malik sangat bangga. Diga dan Yunaf bertepuk mengapresiasi sang coach.

Artha sedang mengemas barangnya bersiap untuk pulang ke rumah. Luka jahitnya sudah hampir mengering walaupun masih berdenyut. Mahes dengan senangnya membantu merapikan barang-barag Artha. "Mamah bentar lagi dateng sama papah. Kamu kalo mau pergi gapapa. Syukuran tim basket masa kaptennya telat." Cerocos Artha. "Iya-iya tunggu mamah sama papah dateng, baru gue pergi." Mahes terkekeh. "Kenapa sih ngga dari dulu kita kayak gini?" Artha tiba-tiba bertanya. "Dulu itu rumit. Bukan lo tapi gue yang rumit." Dahi Mahes berkerut. "Serumit masukin bola di posisi three point." Celetuk Artha. "Dasar lo nya aja yang ngga kuat." Mahes mendapat cubitan di lengan saat mengatakan itu. "Aww Tha ngga sakit." Artha pun langsung mengerucutkan bibirnya sementara Mahes tertawa renyah. "Eh ada Mahes." Papah dan mamah Artha datang. "Iya mah ini nungguin Artha takut lari." Canda Mahes. "Mahes ikut kan ke rumah?" tanya papah Artha. "Maaf pah Mahes harus pergi. Ada acara syukuran tim." Mahes pamit. "Oh iya sudah hati-hati ya nak." Mamah Artha melambaikan tangan pada Mahes ketika Mahes setengah keluar ruangan.

Ketika Artha mengarahkan kursi roda hendak meninggalkan ruang rawat, Ganendra datang dengan kursi roda bersama Givana. Wajah Ganendra masih pucat. Terlihat sekali napas lemahnya. Artha yakin yang dialami Ganendra sepuluh kali lebih parah ketimbang Artha. "Mamah tinggalin kalian berdua ya." Givana pamit. "Makasih mah." Ucap Ganendra. Sedangkan Artha hanya tersenyum. "Tha, maafin gue ya." Ganendra mencoba menyentuh kedua tangan Artha namun ditolak. "Makasih ya udah nempatin aku di posisi teraman waktu tabrakan. Walaupun lukanya lumayan berat, tapi luka kamu hampir bikin sekarat." Artha menyentuh lengan Ganendra. "Gue baik-baik aja." Ganendra meyakinkan. "Halah disikut juga ntar kamu langsung pingsan." Artha tertawa.

"Hari itu, sebenernya gue mau curhat ke lo tentang Wildan yang maksa gue mundur dari basket dengan ancaman nyebar luasin video gue di kelab." Artha termenung. "Gue ngga tau kalo ternyata dia ngotak-ngatik motor gue." Ganendra teringat kembali. "Tanpa gue sadar, pikiran gue bisa tenang kalo sama lo. Makanya gue nelpon lo." Ada setitik rasa hangat menyebar pada nadi Artha. "Bukan salah kamu, Ga." Artha tersenyum. Ganendra tidak tahu bahwa akan merasa kehilangan untuk pertama kalinya.

"Tha, lo selingkuh dari gue." Ganendra menyentuh pucuk kepala Artha. "Tapi gue rela Tha kalo lo balik sama Mahes. Dia lebih bisa ngejagain lo daripada gue." Tidak terasa, air mata meluruh begitu saja di pipi Artha. "Kita putus ya Tha." Artha mengangguk sedih. "Jangan mainin hati cewek lagi ya Ga." Ganendra mengangguk. "Kalo ke kelab belinya lemon tea aja nggausah bir." Ganendra mengangguk lagi. "Tapi kalo ceweknya yang pada dateng bukan salah gue kan?" Artha mendengus. "Dasar buaya." Ganendra tersenyum geli. "Buaya yang hebat bisa macarin lo." Artha senang, Ganendra lebih baik.

SEBALIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang