"ada apa?" Jaemin menatap dayang Kim datar.
"saya membawakan anda surat yang ditulis oleh putri mahkota" dayang Kim menyerahkan sebuah surat yang dipenuhi oleh bercak darah.
"kau bisa membakarnya" Jaemin menatap dayang Kim datar.
"surat ini bukan untuk orang tua tuan putri, melainkan untuk anda" Jaemin mengangkat kepalanya dan mengerutkan alisnya "dan ini adalah buku catatan harian tuan putri"
Tanpa berbicara lebih lanjut, dayang kim memberi hormat dan undur diri.
"kau juga merencanakannya?" Jaemin saling tatap dengan Jeno, sepupunya yang merupakan putra dari kakak sang raja.
"raja kita tidak punya kepemimpinan yang baik" Jeno bergumam datar.
"tapi kau bisa memberikan aku kesempatan menaiki tahta" perkataan Jaemin membuat Jeno tersenyum geli.
"kau bahkan mampu membunuh Renjun dengan tanganmu sendiri" Jeno menatap Jaemin dengan ekspresi kecewa "lalu apa yang akan kau lakukan pada orang lain? Kau akan menjadi tirani yang jauh lebih mengerikan dibandingkan ayahmu sendiri Jaemin, sang ratu sukses mendidikmu menjadi tirani"
Jeno berjalan pergi meninggalkan Jaemin.
"tangkap ini" Jeno berbalik dan mendapati sebuah lencana ditangannya.
"aku memang berencana menjadi tirani dengan itu" ucapan Jaemin sontak membuat Jeno membulatkan matanya.
"ini?" Jeno menatap lencana ditangannya.
"mereka tidak tau kalau aku adalah putra mahkota, yang mereka tau, aku adalah seorang panglima" Jaemin berjalan dan menepuk bahu Jeno "aku menunggumu untuk menonton bagaimana bangsawan Park memenggal kepalaku"
"putra mahkota" nyonya Park, ibu dari Renjun membulatkan matanya saat melihat menantunya berada didepan rumahnya.
"apa kabar ibu" Jaemin membungkuk dan tersenyum tipis kearah wanita yang menurunkan kecantikannya pada mendiang istrinya tersebut.
"nak" nyonya Park mendatangi Jaemin dan mengusap pipi pria itu lembut "kau tidak perlu kemari jika ingin memilih putri mahkota yang baru" Jaemin tersenyum, nyonya Park selalu lembut dan berpikiran terbuka.
"ini baru dua bulan sejak Renjun meninggal bu" Jaemin menggigit bibir bawahnya "aku belum berencana mencari pendamping baru"
"lalu untuk apa kau kemari?" nyonya Park menatap Jaemin kebingungan.
"bertemu ayah" Jaemin mengangkat kepalanya dan melihat kearah tuan Park yang menatapnya dengan ekspresi datar diteras kediaman Park "ada yang ingin aku bicarakan dengannya"
"kalau begitu ibu akan menyiapkan teh" nyonya Park berjalan pergi.
"ibu" Jaemin kembali memanggil mertuanya, membuat wanita itu berbalik dan menatap Jaemin bingung "bisakah ibu menyiapkan makan malam juga? Aku sengaja tidak memakan apapun sebelum kemari karena menginginkannya"
"ini sudah cukup larut dan mungkin makanan yang tersisa sudah dingin, tapi tidak masalah ibu akan memanaskannya lagi" nyonya Park berlalu pergi.
"jika kau berpikir mungkin istriku akan meracuni makananmu, itu tidak akan terjadi" tuan Park bersuara setelah membiarkan Jaemin memakan separuh makanannya dengan begitu lahap "itu terlalu mudah"
"aku juga tidak berpikir demikian" Jaemin tersenyum sambil terus makan.
"apa kau tidak makan selama dua bulan?" tuan Park menyerahkan cangkir minuman pada Jaemin ketika yang lebih muda tersedak.
"jika ukuran makannya adalah mengahbiskan mangkuk makananku, maka iya" Jaemin menghabiskan nasi didepannya "aku tidak makan sampai seperti ini selama tiga bulan terakhir"
"tiga bulan" tuan Park mengerutkan alisnya.
"iya tiga bulan" Jaemin merapikan tempat makannya dan memanggil pelayan keluarga Park untuk membawa tempat makan itu pergi. Satu yang Jaemin pelajari dari keluarga Park adalah, mereka memperlakukan pelayan layaknya keluarga, sehingga mereka tidak segan untuk membereskan bekas makanan mereka sendiri.
Jaemin jadi teringat Renjun yang mengabaikan amarah ratu ketika wanita mungil itu dengan cueknya membantu salah satu dayang membereskan bekas perjamuan para bangsawan.
"ada apa kau kemari" tuan Park akhirnya bertanya.
"untuk meminta makanan, dan sesuatu yang lain" Jaemin tersenyum tipis "tenang, aku juga akan memberikan balasan"
Tuan Park diam dan mengamati sang putra mahkota yang terlihat sangat santai.
"ini" Jaemin memberikan lencana dengan bentuk sama persis dengan yang diberikannya pada Jeno "ini untuk bayaran makan malamku, tapi itu terlalu besar jadi aku akan meminta yang lain" Jaemin mengangguk – anggukan kepalanya.
"aku ingin kau yang memenggal kepalaku dengan tanganmu" Jaemin tersenyum tipis "mereka yang tunduk dibawah lencana itu jauh lebih kuat dari pasuka istana, cukup kuat untuk menyaingi pasukanmu"
"Jeno juga memilikinya" Jaemin tersenyum lebar "pastikan kau memenggal kepalaku didepan mereka agar kau bisa memerintah mereka dengan bebas dikemudian hari" pria itu berdiri dan berjalan pergi.
"kau pikir ini cukup untuk membayar kematian putriku?" perkataan tuan Park menghentikan langkah Jaemin.
"tidak cukup" Jaemin menjawab dengan suara terbata.
"apa putriku akan kembali hidup jika aku memenggal kepalamu? Tidak Jaemin! Tidak!" tuan Park berteriak frustasi.
"tapi membiarkanku hidup juga tidak akan mengembalikan putri dan cucumu" Jaemin kembali menghadap tuan Park dan bersujud.
"biarkan aku mati ayah, aku mohon" Jaemin memohon dengan air mata yang entah sejak kapan sudah mengaliri pipinya "biarkan aku memohon ampun pada istri dan anakku"
"beri aku kesempatan untuk memohon ampun pada mereka"
"kau harus tetap merasakan rasa sakit ini" itu suara nyonya Park "kau harus tetap merasakan sakit yang sama dengan yang kami alami"
"ibu" Jaemin bangun dan menatap nyonya Park yang sudah menangis dibelakangnya. Beringsut mendekat dan memeluk kaki wanita itu "rasanya sangat sakit bu, biarkan aku mati dan memohon maaf pada Renjun"
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny
FanfictionON HOLD Jaemin terjebak pada takdir yang mempertemukannya dengan seseorang yang ia bunuh dikehidupan sebelumnya Destiny, sometimes referred to as fate, is a predetermined course of events. It may be conceived as a predetermined future, whether in ge...