12

1.2K 65 2
                                    

Pagi ini aku berangkat bareng Papa.

Aku sudah selesai sarapan, mengambil tas lantas salim dengan Mama.

Perjalanan lenggang karena memang masih pagi.

"Gimana sekolah kamu Ra?" Papa membuka topik percakapan. Sambil sesekali menarik tuas mobil.

"Seperti biasa Pa" aku menjawab tanpa menatap Papa. Asyik menatap keluar, kerumunan anak sekolah yang menunggu angkot datang, juga lalu lalang orang berangkat kerja, ngebut.

Aku terfokus pada orang yang menggeber gas motornya ngebut, menyalip pengendara lain, sehingga suaranya terdengar memekakkan telinga, membuat kuping sakit.

Papa juga melihat motor itu. Sejenak motor itu menjadi pusat perhatian banyak orang.

"Ngomong-ngomong soal salip-menyalip, Ra lihat pengendara motor yang membuat berisik itu" Papa menunjuk kedepan dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya tetap memegang kemudi.

Aku melihat arah yang ditunjuk Papa, sedari tadi aku juga memperhatikan.

Papa membayangkan sesuatu sambil tertawa kecil.

Aku menoleh ke Papa.

"Kamu tahu Ra Mama jago sekali mengendarai motor, kemanapun bahkan saling selip menyelip" Papa terseyum seakan didepan Papa ada Mama.

"Mamamu itu jago semenjak kuliah" Papa meneruskan. "Bahkan itu yang membuat Papa bisa bertemu Mama"

"Benarkah?" aku pura-pura tahu fakta Mama yang jago naik motor.

Padahal aku sendiri sering dengan Mama ngebut. Aku menyembunyikan fakta itu, teringat ucapan Mama agar tidak bilang-bilang dengan Papa.

"Iya Ra, dulu Mamamu bahkan sampai ikut balapan motor"

"Ra nggak percaya Pa" aku menggelengkan kepala, tanda tak setuju ucapan Papa. Aku tahu Mama suka ngebut, tapi masa iya Mama ikut balapan motor, rasa-rasanya tidak mungkin.

Papa malah hanya tertawa melihat responku.

"Papa dulu juga jago lho Ra. Tapi sekarang Papa naik mobil, antisipasi biar tidak kehujanan sama kepanasan. Nanti kalau Papa kepanasan terus jadi hitam, Mama pasti nggak suka Papa lagi" Papa terkekeh.

Aku ikut terkekeh geli.

"Ra juga tidak akan suka Papa kalau jadi hitam"

"Haduh Ra, Papa sakit hati mendengarnya" Papa memasang muka seakan-akan baru saja diputus pacar, sambil satu tangannya memegang dada.

Aku tertawa.

"Becanda Ra, Papa yakin walau Papa seandainya hitam pun Mama tetap sayang Papa. Mama tipe orang yang tidak memandang dari fisik, Mama itu orang yang memandang dari berbagai sudut. Itu yang Papa suka dari Mamamu. Dulu Mama banyak teman karena sifatnya itu" Papa menyelipkan petuah saktinya.

"Kita juga harus begitu Ra, jangan memandang dari tampilan fisik, kita boleh jadi tidak tahu kan isi maupun aslinya orang tersebut. Bisa jadi dia malah lebih baik dari kita" Papa tersenyum, mengingat sifat-sifat Mama yang baik sewaktu dulu kuliah.

Mendengar kalimat Papa aku malah entah mengapa memikirkan Ali Si Biang Kerok. Dia sudah masuk harusnya hari ini.

Apakah aku terlalu menilainya buruk? Haruskah aku meminta maaf, bagimanapun juga aku telah menilai yang tidak-tidak.

"Ra, sudah sampai" Papa menyadarkan lamunanku.

"Ra turun Pa" aku salim.

***

Aku masuk ke kelas, meletakkan tas, beberapa saat Seli datang.

Kami saling sapa. Mengobrol seru lantas segera menempatkan posisi.

Guru bahasa, Bu Shaula masuk, bertepatan dengan Ali yang masuk satu detik setelahnya.

"Maaf Bu" Ali berkata menghadap Bu Shaula lantas tanpa menunggu jawaban beliau Ali menuju kursinya, terlihat dari matanya ada lingkaran hitam. Bajunya tidak dimasukkan separuh, kusut masai seperti rambutnya. Mungkin aku akan minta maaf nanti.

Bu Shaula hanya geleng-geleng kepala. Entah kenapa tidak menghukum. Mungkin bertepatan saat bel masuk.

Ali duduk ditempatnya, aku menatap dari bangkuku, lantas menoleh kedepan ketika Si Biang Ke, eh Ali maksudnya menatapku.

"Baik anak-anak meneruskan pelajaran kemarin tentang teks prosedur" Bu Shaula kemudian menatap kami"

"Ada yang tahu apa itu prosedur?"

Seseorang mengacungkan tangan, ini materi kemarin, Bu Shaula hanya me-review.

"Prosedur adalah urutan langkah langkah membuat sesuatu"

"Nah kurang lebih itulah maksudnya. Nah pada kali ini Ibu ingin kalian membuat suatu karya baik kerajinan atau apapun, sesuai kreativitas kalian. Lantas dalam pembuatan itu kalian buat vidio yang didalamnya ada kalian yang mendemonstrasikan bagaimana membuatnya, serta lampirkan langkah-langkahnya di kertas folio. Kerjakan dua anak bersama" Bu Shaula menatap kelas yang sejenak bising, memeperhatikan beberapa anak yang memasang wajah mengeluh, lantas saat tahu dia ditatap langsung menampilkan muka terseyum lebar.

Aku tidak keberatan, karena aku suka pelajaran ini.

Aku melihat teman-temanku, lantas Ali malah terlihat sedikit, catat sedikit bersemangat.

"Oh ya, Ibu memberi kalian tenggat waktu seminggu, berikan karya terbaik kalian"  terdengar seruan frustasi juga anak-anak yang sibuk bercerita tentang apa yang akan dibuat.

"Ra, buat apa ya?" Seli juga sibuk memikirkan.

"Entahlah Seli, aku juga belum tahu. Kita mungkin bisa mengerjakan bersama, dirumahku besok sabtu sekalian kamu nginep bagaimana?Sepertinya ini akan butuh waktu lama" aku menawarkan.

"Baiklah Ra aku setuju" Seli mengangguk.

Aku terseyum senang, sebenarnya aku ingin melakukan sesuatu dengan Seli.

***
Hai hai...

Ada yang punya saran buat Raib sama Seli buat apa? Kasih ide dong, buat apa gitu yang anti-manistream gitu.

Kalau Ali sih bodo amat yaa
(nggak kok Ali, tetep dipikirin sama Raib, eh sama authornya maksudnya)

Terus, btw Raib pengen melakukan apa ya sama Seli?

Silakan vomment sebanyak-banyaknya.

RaibTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang