Semua sulit dan rumit seperti kita yang ada dihubungan yang berbelit-belit.
Babak final pertandingan basket sudah selesai 15 menit yang lalu, juara peetama diraih oleh sekolahku SMA Bintang.
Mataku terus menyusuri penjuru sekolah ini, berharap bisa bertemu dengan Nayna, entahlah ada perasaan gelisah yang membuatku ingin menemuinya, berjalan bersama Reno dilorong sekolah ini membuatku dan Reno mendapat tatapan kagum dari banyak siswi. Jika kalian bertanya kemana dua sahabatku yang lain, mereka sedang mengisi perut, aku juga belum memberitahu ke mereka tentang masalahku, hanya Reno yang sudah tahu, bukannya tak mau membagi hanya saja waktunya belum tepat.
Semalam aku menelfon orangtuaku, dan reaksi mereka kecewa terlebih lagi ibuku, dia menangis ditelfon sedangkan ayahku menghela nafas dan bilang sore nanti mereka sampai disini. Tepukkan dibahu Reno membuatku tersadar.
"Dev, bukannya itu temennya si siapa? Nena? Ney ?" tanyanya sambil menunjukkan gadis berambut sebahu di lorong sekolah. Benar, aku pernah melihatnya.
"Ayo kita samperin, siapa tau dia tau kenapa cewek lo ngga ada disekolah" ucapnya sambil menarikku.
"Permisi, mohon maaf" percayalah, kali ini Reno yang banyak bicara dibandingkan aku, padahal aku yang butuh banyak info, tapi sahabat baikku yang membantu.
"Eh, iya kenapa ya?" tanya gadis didepan kami dengan senyum kikuk.
"Emm.. Gue Reno dan ini temen gue Devan, kita mau tanya, temen lo yang pake jilbab brangkat?"
"Eh, ko tanya tanya temen aku? Emang kenapa?"
"Enggapapa gue tanya, jadi lo tinggal jawab brangkat apa ngga"
"Loh ko kamu ngeselin sih, temen aku ngga brangkat, dia sakit" ucapnya sambil meninggalkan kami berdua dengan kaki dihentakkan membuatku menggelengkan kepala.
"Gila aja, jadi cewek ko galak banget" gumaman Reno masih terdengar ditelingaku membuatku geleng-geleng kepala saja.
"Ayok lah, nyusul Adit sama Satria" ucapku padanya yang dijawab anggukkan.
Sakit, jadi Nayna tidak masuk karena dia sakit?.
***
Aku masih terbaring dikamarku dengan tatapan kosong ke atap kamar, bayangan kejadian kemarin membuatku lagi-lagi menangis, lemah sekali rasanya.
Ketukkan pintu membuatku segera menghapus jejak air mataku cepat cepat dan melihat siapa yang datang. Wanita paruh baya yang sering kupanggil bunda sedang berdiri dipintu sambil membawa nampan berisi makanan dan diiringi senyumannya yang membuatku tenang.
Aku bangkit untuk duduk di kasur, merasakan usapan lembut dikepalaku membuatku tersenyum menatap Bundaku.
"Nay makan dulu yah, bunda suapin" ucapnya membuatku mengangguk, aku sangat pasrah dengan keadaanku sekarang.
Setelah selesai makan bunda kembali untuk meletakkan nampan dan piring tadi kedapur dan bilang akan kesini lagi nantinya, benar saja sekarang bunda sudah masuk kekamarku. Duduk didepanku dengan menggenggam tanganku lembut, dengan senyumannya yang tenang membuatku ingin menagis saja melihatnya.
"Nay, kamu anak bunda yang cantik, kamu percaya takdir Allah kan nay? Jangan pernah menyalahkan Allah atau diri kamus sendiri bahkan Devan. Ini semua takdir Allah untuk kamu Nay, Allah menguji kamu dengan cobaan berat ini karena Allah tau kamu mampu melewatinya. Bersabar, kamu harus sabar dan mencoba menerima takdir"
"Tapi bun, Nay ngga suka dengan takdir Nay"
"Hey, Nay sayang.. Ngga boleh bilang gitu, semua terjadi atas kuasa Allah. Kamu tau saat bunda diceritakan ayah tentang kejadian yang menimpa Nay?" aku menjawab dengan gelengan.
"Bunda menangis, bahkan ayah juga menangis, ayah dan bunda merasa gagal sebagai orang tua, gagal melindungi Nay, tapi kembali lagi ini semua takdir Allah, jadi bunda harus menerimanya begitupun dengan ayah, Nay dan Devan. Kemarin Nikko bahkan sembar memukuli Devan, apa Devan melawan? Ngga, karna di tau dia salah Devan pria berani walaupun dia tau dia salah, di menghadap ke ayah dia mau bertanggung jawab menikahi kamu dia ngga akan ninggalin Nay, karna dia tau di salah" ucapan bunda membuatku mendongak menatap wajahnya.
"Dev.. Devan mau tanggung jawab? Menikahi Nay? Gimana sekolah Nay?" lagi dan lagi bundaku tersenyum.
"Nay tetap sekolah, dan kalin akan tetap menikah, pernikahan kalian akan dirahasiakan"
Aku memeluk bundaku, mencari kenyamanan disana, memebuatku merasa terlindungi.
"Nay sayang bunda" ucapku lirih.
"Bunda juga sayang Nay, Nay mau kan menikah dengan Devan. Dia mau mempertanggung jawabkan Nay seutuhnya, belajar menerima takdir sayang" ucapan bunda mebuatku bingung tapi mau tak mau aku juga mengangguk mengiyakan. Setelahnya bunda melepaskan dekapannya dan mengelus rambutku lalu keluar dari kamarku meninggalkanku sendirian.
***
Hari sudah sore, namun Nikko tak pernah nampak aku bingung kenapa dengan adikku itu apa dia sakit? Segera aku keluar kamar dan menuju kamarnya yang tepat berada disampingku. Tanpa mengetuk pintu kamar aku langsung masuk mendapati Nikko yang duduk dengan tatapan kosong dengan rokok terselip dijarinya. Bagaimana mungkin? Kenapa adikku merokok?. Segera berlari setelah menutup pintu rapat aku menghampirinya dan membuang rokok itu melalui jendela kamar yang terbuka.
"Kaka apa-apa an sih!!?" ucapnya dengan nada tinghi membuatku kaget bukan main.
Plakkk....
Aku menamparnya, sungguh ini bukan sifat Nikko adikku.
"Kamu yang apa-apaan Nik Nikko.. Kamu kenapa dek?" tanyaku padanya, bukannya menjawab dia malah memalingkan wajahnya didepanku.
"Bilang dek siapa yang ngajarin kamu kaya gini hah!!?" tanyaku dengan nada tinggi. Dia menatapku, matanya berkaca-kaca, menarikku kedalam dekapannya dia menangis, baru kali ini adikku menangis, aku ingat terakhir kaki ia menangis pada saat kelas 4 SD itupun tangis bahagia karena menang lomba membuat poster.
"Maafin Nikko kak.. Nikko ngga bisa jaga kakak, Nikko ngga berguna jadi adik, maafin Nikko ka..." aku dibuat tertegun dengan ucapannya. Sebegitukah kasih sayang Nikko padaku bahkan dia sampai bersikap seperti tadi karena rasa bersalah tak bisa menjaga kakaknya ini. Aku menatapnya dan mengusap jejak air matanya.
"Dek, dengerin kaka. Nikko ngga salah semua ini udah takdir ini bukan salah Nikko" ucapku meyakinkannya dan kembali memeluk adikku ini.
Pintu kamar Nikko diketuk, itu ayah, dia menghampiri kami dan mengelus kepala kami berdua sayang saja adikku yang satu sedang belajar dipesantren.
"Nay, kamu sama Nikko siap-siap gih, bentar lagi keluarga Devan mau datang" ya Allah aku bahkan melupakan hal itu, apakah aku siap menemuinya, aku takut. Bagaimana jika keluarganya tak menerimaku, bagaimana jika mereka menghinaku bahkan keluargaku.
"I-iya yah.." ucapku padanya, ayah meninggalkan kami berdua sampai akhirnya aku dan Nikko saling bertatapan dan dia bilang kalu semuanya akan baik-baik saja.
Setelah membersihkan diri aku duduk diranjang, ponselku belum ku sentuh sama sekali, percayalah pasti hanya pesan dari Sisil yang kuterima.
Aku menoleh kearah pintu kamarku, disana berdiri ayahku dan mengjampiriku. Duduk disampjngku dan mengelus kepalaku.
"Nak, kamu tau kenapa ayah mau Devan bertanggung jawab" aku menggelengkan kepala karena pertanyaan ayah.
"Ini bukan perkara mudah, saat melihat Devan ayah tau, bahwa ada kesungguhan, dia mau bertanggung jawab, bahkan saat dipukuli Nikko dia diam, ayah salut padanya, dia mengakui kesalahannya. Kamu tau? Banyak pria yang meninggalkan perempuan yang sudah dijadikan pemuas nafsunya, namun Devan berbeda, walaupun ayah tau dia salah, bahkan ayah seperti ingin mengusirnya saat tau kejadian itu, kemarin dia menjelaskan sedetil-detilnya dengan ayah, dan kamu tau? Dia menyesal" ucapan ayah barusan membuatku bingung, bagaimana mungkin ayah bisa menerima Devan begitu mudah, tapi aku? Bahkan sampai saat ini masih belum menememukan jawabannya, aku hanya mengikuti apa yang ayah dan bunda perintahkan.
Saat aku hendak bertanya sura mobil datang mengintrupsi kami, aku menatap ayahku dan dibalas senyuman olehnya seolah berkata, semua akan baik-baik saja.
Gimana? Bagus ngga? Heheh mau lanjut ngga nih?.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayna [ Revisi ]
Teen FictionDIHARAPKAN YANG MAU PLAGIAT CERITA SAYA AGAR MUNDUR SEBELUM JALUR HUKUM MENYAMBUT. INGAT FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA!!!! KARENA FOLLOW ITU GRATISSSSSS!!!!!! Cover by: pinterest Bagaimana jika kamu berada di posisi Nayna, gadis lugu yang harus kehi...