Aku sampai di kediaman Nayna, rumah tampak sepi karna keadaan sekarang sudah menjelang isya, aku mengetuk pintu rumah dengan perasaan gugup.
Tok.. Tok.. Tok...
"Assalamualaikum" salamku, sekitar tiga menit sosok Nikko muncul dibalik pintu yang terbuka.
"Walikumsallam, loh ka Devan, kenapa ngga bilang mau kesini?" pertanyaan Nikko membuatku tersenyum kikuk, benar katanya kenapa aku tak mengabari.
"Em... Biar jadi kejutan Nik" ucapku.
"Yaudah ayo masuk" ajaknya.
Aku memasuki rumah ini kembali setelah satu bulan yang lalu.
"Siapa Nik? Tumben jam segini ada tamu" teriakan bunda membuatku mengernyit, pasalnya tak ada orang diruang tamu, mungkin didapur.
"Bang Devan bun" entah sulap atau sihir bunda sudah ada dibelakangku.
"Loh nak Devan, kapan dateng? Nik panggil ayah gih" pertanyaan bunda membuatku tersenyum dan Nikko mengangguk.
"Baru aja bun" ucapku sambil menyalami tangannya yang disusul oleh kedatangan ayah.
Aku bingung, dimana Nayna pasalnya aku kesini juga untuknya. Seolah tau dan peka ayah menanyakan itu padaku.
"Cari Nayna ya? Dia dikamar lagi ngga enak badan samperin gih, kamu juga bersih-bersih terus makan lalu istirahat" ucapan ayah membuatku mengangguk dan pamit meninggalkan mereka setelah sempat memberikan buah tangan ke mereka.
"Assalamualaikum" ucapku sambil membuka knop pintu, bukannya mendapat jawaban dari siempu yang punya kamar aku malah mendengar suara seaorang sedang muntah-muntah.
Aku bergegas menuju kamar mandi kecil yang ada dikamar Nayna, benar disana dia sedang muntah-muntah bahkan keadaannya terlihat acak-acakan.
Aku menghampirinya dan memijit tengkuk lehernya, dia nampak terkejut namun akhirnya diam.
Nayna membasuh mulut dan wajahnya, dia menatapku dengan tatapan terkejut, aku tersenyum dan menuntunnya untuk duduk dikasur.
"Dev, ka-kamu kenapa bisa disini?" pertanyaan Nayna membuatku tersenyum.
"Ya bisa dong, pas aku ketuk dan salam kamar kamu ngga ada jawaban malah ada suara orang muntah-muntah yaudah aku langsung masuk"
"Hmm... Kamu bersih-bersih dulu aku siapin bajunya, ditas kamu kan?" pertanyaan Nayna membuatku menggelengkan kepala.
"Ngga usah kamu lagi sakit" tolakku halus, dia mengangguk mengiyakan.
Setelah bersih-bersih aku dikejutkan dengan Nayna yang sudah berdiri didepan pintu kamar mandi, lagi dia muntah-muntah dikamar mandi, aku heran karna hanya cairan bening yang keluar. Nayna tampak pucat setelah membasuh mulutnya di menghampiriku membuatku khawatir.
"Kita kedokter ya Nay, aku takut kamu kenapa-napa" dia menggeleng membuatku menghela nafas berat.
"Aku nggapapa aku cuma butuh istirahat" ucapnya membuatku mwnghela nafas panjang.
"Udah makan?" tanyaku.
"Belum"
"Kamu harusnya makan biar cepet sembuh, ayo makan habis itu kita sholat isya" ajakku yang diangguki olehnya.
Kami keluar kamar, diruang makan sudah ada ayah, bunda dan Nikko untuk makan malam, aku dan Nayna menyusul lalu duduk dikursi yang kosong.
"Udah mendingan Nay?" bunda bertanya kepada Nayna yang dijawab senyuman tipis olehnya.
Aku mengambilkannya makanan tal terlalu banyak memang karena dia tidak nafsu makan.
Setelah berdoa kami makan dalam diam, Nayna tak menyentuh makanannya dia hanya menatapku membuatku menghentikan makanku dan menatapnya.
"Kenapa?" tanyaku yang dijawab gelengan kecil olehnya.
"Makan yah, aku suapin?" lagi dia menggeleng.
"Tukeran yah, punya kamu buat aku makanannya" ucapan Nayna membuatku membeo, namun tersenyum.
Nayna memakan makanan bekasku tadi, dia bahkan lahap sekali saat makan tak seperti tadi. Setelah makan kami sholat berjamaah diimami oleh ayah, setelah sholat juga aku dan Nayna langsung pamit untuk istirahat dan mereka memakluminya.
Ya kali ini aku satu kamar dengan Nayna, dia nampak canggung namun aku akan membuat dia terbiasa.
"Tidur gih, udah malem" dia hanya mengangguk lagu segera beranjak ke kasur dan berbaring, aku juga ikut berbaring disebelahnya membuat dia terkejut bukan main.
"Tidur aku ngga akan ngapa-ngapain kamu Nay" ucapku yang dijawab anggukkan olehnya.
Setelah membaca doa tak lama mataku terpejam karna jujur saja tubuhku sangat lelah hari ini.
Tengah malam aku merasakan pergerakan disebelahku, perlahan aku membuka mata, Nayna.
"Kenapa belum tidur hm?" tanyaku padanya.
"Ngga bisa tidur" jawabnya.
"Sini" aku menyuruhnya mendekat dan menjadikan tanganku sebagain bantalnya perlahan aku mengelus kepalanya dia nampak kaget namun lama kelamaan deru nafas yang mulai teratur terdengar aku tersenyum lantas membawa Nayna ke dalam dekapanku.
***
Lagi, aku harus merasakan muntah-muntah dipagi hari ini, ayah sudah berangkat, bunda sedang ke kebun, Nikko juga sudah masuk sekolah, aku dirumah bersama suamiku Devan.
Aku sungguh tak kuat dengan ini semua, mataku mulai kabur, pandanganku sudah kossong tepat saat keluar kamar mandi aku ambruk membuat Devan meneriaki namaku.
Aku terbangun, bingung dengan ruangan serba berbau obat ini.
Devan datang menghampiriku dengan tatapan yang sulit diartikan membuatku menunduk.
"Kenapa ngga bilang?" tanya Devan memebuatku bingung.
"Ma-makaudnya?" tanyaku bingung.
"Kenapa ngga bilang kalo kamu hamil Nayna?" tanyanya lagi.
"Ha-hamil? Jadi dugaan bunda sama Sisil bener?" pertanyaanku membuat Devan mengangguk.
Deg. Benar aku hamil. Aku bingung antara senang atau sedih, seharusnya hari ini aku kedokter dengan bunda nanti sore namun belum waktunya Devan sudah mengetahui.
"Aku udah tebus obat, kita pulang" ucapan Devan begitu dingin membuatku takut.
Kami berdua sampai dirumah, rumah nampak sudah berpenghuni karena motor ayah dan motor Nikko sudah terparkir rapi di halaman rumah.
Kami masuk kedalam rumah, jujur aku gugup bahkan sedari tadi aku meremas ujung kerudungku.
"Assalamualaikum" ucap kami berdua.
"Walikumsallam" jawaban dari penghuni rumah, kami berjalan menyalimi ayah dan bunda. Bunda nampak bingung melihat kami.
"Kalian darimana?" tanya bunda.
"Puskesmas bun" bukan aku yang menjawab melainkan Devan.
"Loh, Nayna udah dibawa ke dokter? Terus sakit apa?" tanyanya lagi
"Nay ngga sakit bun, Nay hamil" lagi, Devan yang berbicara.
"Bener? Nda salah kan? Wah brarti ayah sama bunda bakal cepet punya cucu ini" ucapan ayah membuatku terkejut karena di datang langsung bersama Nikko disampingnya.
"Sama dong yah, Nikko juga bakal punya ponakan" sambung Nikko.
"Insyaallah bun, yah, Nik, doain ya semoga calon anak kita sehat" jawaban Devan membuatku menatap Devan, dia nampak senang bahkan keluargaku juga begitu, terbukti dari tatapan mereka yang antusias.
Aku bungung, harus bagaimana aku belum siap, melahirkan pasti sakit kan? Ya Allah jika ini rezeki dan titipan darimi bantu hamba menjaganya.
Aku kembali merasakan mual, Devan mengikutiku setelah pamit pada keluargaku.
Aku merasakan tengkukku dipijat, siapa lagi kalau bukan Devan, dia sangat baik kepadaku bahkan dia berubah, dia nampak lebih sabar dan tak banyak bicara, walaupun aku tak tau juga sikap dia bagaimana, tapi yang pasti semoga ini akan berlaku lama di rumah tanggaku aamiin.
Assalamualaikum semua kembali lagi dicerita Nayna, selamat membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nayna [ Revisi ]
Teen FictionDIHARAPKAN YANG MAU PLAGIAT CERITA SAYA AGAR MUNDUR SEBELUM JALUR HUKUM MENYAMBUT. INGAT FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA!!!! KARENA FOLLOW ITU GRATISSSSSS!!!!!! Cover by: pinterest Bagaimana jika kamu berada di posisi Nayna, gadis lugu yang harus kehi...