Prolog

2.4K 114 34
                                    

“Kau lihat, dia yang pakai baju kuning itu? Yang selendangnya keemasan?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kau lihat, dia yang pakai baju kuning itu? Yang selendangnya keemasan?”

Yuseong menoleh ke arah yang ditunjuk adiknya. Decak keras terdengar dari Jenderal muda di Langit Prunos itu.

“Dia Dewi Bulan. Pantas saja jika auranya keemasan.”

Haes-sal tersenyum puas. “Bagus kalau begitu. Besok aku akan menyatakan cinta padanya.”

Yuseong menyemburkan minuman Vitis vinivera langkanya. Mata emas itu berkilat kesal melihat cairan kuning kemerahan jatuh sia-sia ke tanah.

“Kau menyatakan cinta ke Cheong-He?”

“Oh, jadi namanya Cheong-He?” Haes-sal malah balik bertanya.

Yuseong memijit pelipis. Sedih dengan ketololan adiknya. Bagaimana bisa lelaki segagah ini, yang memimpin pasukan terelit di Kayangan, yang seluruh Imoogi tunduk padanya, mendadak jadi bodoh hanya karena seorang dewi?

“Kau tak tahu namanya, tak tahu siapa dia, tapi jatuh cinta padanya?” Yuseong bertanya tak percaya.

“Apa cinta butuh perkenalan?” Haes-sal berfilosofi. “Aku selalu melihatnya setiap pulang latihan. Dia cantik dan sangat ramah.”

“Itu karena dia termasuk dayang-dayang Maharani,” omel Yuseong. “Pasti kau akan terus bertemu dengannya karena taman kesukaan Maharani sejalur dengan arah pulangmu.”

“Baiklah, aku akan mencoba peruntunganku.”

“Haes-sal?” Sang Jenderal menghentikan langkah adiknya. “Dia dewi.”

“Lalu?” Lelaki berperawakan kekar itu menaikkan sebelah alis. Heran dengan ucapan kakaknya.

“Malaikat tak bisa bersatu dengan dewa atau dewi,” jelas Yuseong sabar. “Kita terlahir dari spirit mereka. Kasta kita jauh di bawah para dewa dan dewi.”

“Astaga, kau masih percaya larangan itu?” gelak Haes-sal.

Kening Yuseong berkerut dalam. “Mungkin kau tidak, tapi Cheong-He bisa jadi mempercayainya.”

Haes-sal, malaikat yang kepopulerannya tak kalah dibanding Sang Jenderal hanya mengedikkan bahu. Tawanya terdengar pelan. Yuseong berdecak melihat respon adiknya.

“Kudengar dia sudah dijodohkan dengan Dangun.”

“Keponakan Kaisar?” Mata gelap Haes-sal terus mengamati sosok dewi berbalut selendang sutera keemasan. Kontras dengan rambutnya yang segelap langit malam.

“Si Pangeran Altar,” angguk Yuseong, “jadi jangan coba-coba merayunya. Kau tak mau punya musuh kekaisaran, kan?”

💮💮💮💮💮💮💮💮💮💮💮💮💮💮


Hwanin, Sang Kaisar Langit, sangat cermat memilih jodoh untuk seluruh kemenakannya. Kala Dangun sudah memasuki usia menikah, secara khusus Hwanin bersama Maharani menyiapkan Cheong-He sebagai kandidat calon istri utama. Dan dewi berparas secantik bulan musim semi itu menerimanya.

Karena alasan itulah, Cheong-He hanya mampu tertegun saat Haes-sal memintanya bertemu di bawah pohon kesemek. Lantas mendengar pernyataan cinta yang luar biasa.

“Aku akan menikah dengan Yang Mulia Dangun.” Hanya itu jawaban Dewi Bulan.

“Pernikahanmu masih lama. Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku sebelum Dangun jadi suamimu.” Haes-sal optimis.

Cheong-He menggeleng, “Kau salah, Tuan. Aku sudah jatuh cinta ... dengan Yang Mulia Dangun.”

Lalu Cheong-He terbang menjauhi Haes-sal. Sama sekali tak menoleh. Sangat jelas menolak cinta malaikat itu.

“Tuan Muda, Tuan Muda!”

Haes-sal yang masih terpesona dengan kepergian Cheong-He, sekaligus penolakan tegasnya, tak menggubris panggilan keras itu. Hingga dia merasakan tepukan berkali-kali di bahunya, baru Haes-sal menoleh.

“Ada apa?” tanyanya gusar. Efek patah hati baru dirasakannya setelah bayangan Cheong-He menghilang dari pandangan.

“Tuan Besar Yuseong terluka.”

“Kakak?” Haes-sal sedikit tak fokus. “Kenapa kakakku bisa terluka? Dia tak sedang berperang, kan?”

Prajurit rendahan itu membungkuk dalam-dalam. Suaranya rendah saat berkata. Seolah takut terdengar telinga-telinga jahil.

“Jenderal berduel dengan Yang Mulia Hwanung.”

Fokus Haes-sal seketika kembali. “Apa maksudmu? Hwanung sudah pulang?”

“Benar, Tuan Muda. Yang Mulia Hwanung sudah kembali dari pertapaannya. Dan beliau membawa oleh-oleh.”

“Oleh-oleh apa?” desak Haes-sal mulai ketakutan. Teringat sikap provokatif dewa tinggi itu setiap bertemu kakaknya. Juga kehebatannya di bidang pengobatan.

“Yang Mulia Hwanung bertaruh racun terbaru, Tuan. Jenderal Yuseong kalah dalam pertaruhan tersebut dan mendapat racun jenis baru yang langka.”

Haes-sal mendesah panjang. Hwanung dan kakaknya. Dua sosok yang tak pernah bisa bersahabat dengan normal. Banyak yang mengira mereka bermusuhan, sejatinya keduanya adalah rekan yang saling bersimbiosis mutualisme.

“Jenderal akan turun ke bumi.”

Haes-sal melirik, “Bumi?”

“Yang Mulia Hwanung mengatakan penawar racun hanya ada di bumi.”

Haes-sal menoleh ke arah Cheong-He menghilang. Aroma dewi itu sudah tak tercium hidung. Lantas dia melongok ke bawah. Hanya ada tanah kayangan. Di bawahnya lagi adalah hamparan bumi dengan keindahan yang memukau.

“Tuan?” Prajurit itu sudah serasa ingin meloncat pergi.

Mata Haes-sal bersinar kelam. Sekarang ada Dangun. Apa dia harus menyerah sebelum bertarung? Hah, itu bukan sifat Haes-sal sama sekali.

“Bumi, ya?” Seringai Haes-sal mengerikan. “Akan kubuat kau turun menemuiku, Cheong-He.”

💮💮💮💮💮💮💮💮💮💮💮💮💮

Hola, balik lagi denganku.
.
.
Kali ini ada kisah Malaikat Shou dan Manusia Hee Young.
.
.
Loh, kok, Shou? Bukannya Char-El, ya? Penasaran? Terus baca kelanjutan cerita ini, ya. 🥰
.
.
Sstt ..., ada kado spesial untuk Readers terakhir di akhir cerita. So, jangan bosan tinggalkan jejak, ya. 😉

ACALASITHE (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang