Dua

992 51 15
                                    

Terima kasih buat yang masih setia baca ANTARES ya:) jangan lupa vote dan komen hehe

SUDAH SIAP MEMBACA ARES DAN ADARA?

"Lo seperti senyawa kimia paling berbahaya. Dan yang paling menakutkan bagi gue adalah bereaksi dengan lo." —Bima Antares Denov

"ADARA, GUE NYALIN PR FISIKA LO YA!" teriakkan Sani menggelegar membuat beberapa anak kelas geleng-geleng kepala. Bukan, itu tadi bukan pertanyaan, melainkan pernyataan dari Sani. Saniya Kaena, sahabatku sejak SMP yang kebetulan satu kelas lagi denganku.

"Gue gak tanggung jawab kalau banyak salah," ucapku santai kemudian kembali berbincang dengan Adiva—sekretaris kelas dan Deral—ketua kelas.

"Ih elo merendah mulu, biasanya kalau dikerjain Kak Maya udah pasti bener," ucap Sani lalu kembali fokus menyalin jawaban dari bukuku.

"Gue enggak privat lagi sama Kak Maya," ujarku.

Sani melotot melihatku yang duduk dikursi depan, "Loh? Terus ini jawaban dari mana?" tanya Sani yang mulai panik.

"Mbah google," jawabku enteng.

"Ah, terserah. Yang penting gue enggak dihukum Pak Adri nanti," ucap Sani.

Pandanganku kembali terfokus kearah ketua kelas yang mengajakku bicara, "Lo udah ngumpulin tugas pas enggak masuk kemaren?" tanya Deral dengan alis mata terangkat sebelah.

"Udah. Ini rekapan nilainya baru mau gue setorin ke guru pulang nanti," jawab Adiva yang memang ditunjuk untuk memeriksa tugasku.

"Mana oleh-oleh gue, Ra?" tanya Deral.

"Enggak ada, gue gak sempet beli," ucapku.

"Div, lo udah selesai tugas mandiri belum?" tanyaku ke Adiva.

"Udah lah, so easy," ucap Adiva lalu terkekeh.

"Enak ya, punya pacar kakak kelas. Pinter lagi!" seru Deral, laki-laki berahang tegas dan berkulit sawo matang dihadapanku.

"Sirik aja lo sama gue, cari sana! Muka lo lumayan, tapi kok gak laku!" cibir Adiva pedas.

Deral melotot kearah Adiva, "Kualat lo entar sama gue!" seru Deral.

Aku menanggapi dengan kekehan. Tidak lama setelahnya, terlihat Pak Adri yang memasuki kelas. Guru yang usianya memasuki kepala tiga itu belum menikah. Memang perawakannya masih seperti anak muda, tapi galaknya minta ampun kalau masalah belajar.

"Selamat pagi semuanya," ucapnya yang dijawab berbarengan oleh semua murid di kelas.

Aku, Adiva, dan Deral lalu segera bubar menuju tempat duduk kami masing-masing. Sani sepertinya sudah selesai menyalin jawaban PR dari buku milikku. Pak Adri lalu menyuruh Deral untuk mengumpulkan PR kami.

"Oke, siapa yang tidak bikin PR?" tanyanya dan murid kelas kembali menjawab 'tidak ada' berbarengan.

"Kalau yang mengerjakan PR di sekolah, Ada?" tanya Pak Adri lagi membuat Sani gemetaran mendengarnya.

Tidak ada sahutan dari murid-murid seolah berusaha menjadi dewi keberuntungan untuk Sani. Pak Adri lalu menggangguk dan mengatakan 'bagus'. Sani menghembuskan nafas legah mendengar perkataan Pak Adri.

"Lagi beruntung lo San," bisikku yang membuat Sani terkekeh singkat.

Pak Adri menjelaskan beberapa materi fisika yang membuat otakku pusing tujuh keliling, tujuh turunan, bahkan tujuh tanjakan. Sani bahkan terlihat bosan karena tidak mengerti. Aku berusaha memahami penjelasan Pak Adri dan mencatat poin-poin penting yang mungkin akan aku tanyakan saat bimbingan nanti.

ANTARESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang