2. Verse

17.3K 1.7K 194
                                    

Sepulang dari kantor, Hanum mengajak Thalia mampir ke pusat perbelanjaan. Istilahnya nge-mall atau cuci mata melepas stres. Memelototi barang-barang kece yang menguras kantong tetapi tak terbeli karena harus menunggu tanggal gajian.

Hilang sudah niat Thalia untuk segera pulang ke kosan dan tidur sampai pagi. Apalagi mengingat kondisi kamar kosnya yang semrawut seperti kandang babi, membuatnya tidak betah berlama-lama di sana. Memang benar kata orang, malas adalah penyakit paling mainstream yang tidak ada obatnya.

Hanum memelototi koleksi tas kain dengan berbagai model. Gadis itu memang menyukai pernak pernik yang berbau handmade dengan alasan barang tersebut tidak diproduksi secara massal, hingga memperkecil kemungkinan bertemu barang kembaran.

Setelah dari lantai berisi pakaian dan aksesoris wanita, Thalia malah menyeretnya ke tempat yang menjual alat-alat pertukangan. Ia teliti memeriksa rak barang satu persatu lalu mengambil satu set obeng nirkabel dan membawanya ke meja kasir.

"Selera lo, tuh, aneh," gerutu Hanum. Thalia seakan tidak berminat cuci mata di bagian yang biasanya dipelototi kaum wanita, malah ngiler berat dengan sebuah mesin penghalus dan pemotong kayu raksasa.

Thalia hanya nyengir lebar sembari mengulurkan kartu anggota agar kasir memotong depositnya.

"Nggak ada diskon lagi, Mbak?" tanyanya pada karyawan tersebut tersebut.

"Harga pas, Kak. Baru bulan kemarin ada diskon sepuluh persen," jawab si gadis sambil membungkus belanjaan Thalia.

Thalia mengerang. Potongan sepuluh persen lumayan juga, setidaknya cukup untuk membeli seporsi makan siang di warteg di belakang kompleks kantornya.

Selepas dari sana, Hanum mengajaknya mampir ke bioskop.

"Gue yang bayar," kata Hanum mengeluarkan dompetnya.

"Tumben lo baik?"

Gadis itu mendadak memasang tampang sendu. "Gue baru putus sama Haris."

"Alhamdulillah seribu kali, ya Allah!" seru Thalia mengangkat kedua belah tangannya.

Hanum mendelik. Andai saja mereka bukan berada di mall, mungkin Thalia telah bersujud syukur di lantai saking senangnya.

"Nggak punya perasaan banget, sih, lo?!"

"Justru karena gue punya perasaan makanya gue bersyukur lo putus sama dia. Dimana-mana yang namanya cowok posesif itu ibarat racun. Belum jadi isterinya aja, dia sudah melarang lo pergi bahkan sama gue sekalipun, melarang lo melakukan kegiatan yang lo suka. Memangnya dia pikir dia itu siapa? Ngasih makan lo aja enggak. Jangan-jangan nanti kalian udah nikah, dia nggak ngebolehin elo kemana-mana, cuma boleh ngesot di rumah. Idihh!" cerocos Thalia bergidik ngeri.

Sejujurnya, Thalia tidak tega berkata sedemikian kasar. Namun, ia gemas sendiri dengan Hanum yang membiarkan dirinya dikungkung seorang lelaki yang baru berstatus sebagai pacar tapi bertingkah keterlaluan melebihi suami. Gaya berpacaran yang sangat tidak sehat menurutnya, dan Hanum seakan tidak mendengarkan ocehannya.

Tidak jarang banci bernama Haris itu melakukan kekerasan fisik pada Hanum, seperti mencekal tangannya sampai meninggalkan bekas kebiruan. Belum lagi beban psikologis karena Haris selalu mengancam dan kerap memeriksa ponselnya, seolah-olah Hanum ketahuan berbuat serong.

Untung saja Hanum belum ditampar atau dikasari lebih jauh. Kalau itu terjadi, sudah pasti Thalia tak segan-segan mendatangi Haris dan membalas perbuatannya.

Tiap kali gadis itu curhat dan diberi masukan, hanya masuk kuping kiri lalu keluar di kuping kanan. Numpang lewat tanpa meninggalkan bekas. Lama-lama Thalia muak sendiri. Namun, ia tetap setia mendengarkan tiap kali Hanum meneleponnya atau curhat di kosannya sampai dini hari.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang