20. Way Too Soon

10.3K 1.6K 326
                                    

Thalia mematut dirinya di cermin. Ini hanya kencan biasa hingga ia memilih gaya kasual. Napasnya berkali-kali berhembus kasar. Terkadang ia menggigit bibir. Lipstik tipis berwarna merah muda yang ia sapukan terhapus lagi. Raut resah tak dapat ia sembunyikan.

Ini bukan kencan pertamanya, tapi ia gugup sekali.

Entah kemana Costa akan membawanya nanti. Mendadak saja ia tidak percaya diri. Satu hal yang ia antisipasi adalah berapa pasang mata akan tertuju pada pria itu dan tentu saja dirinya akan terlibat di dalamnya. Walaupun sering bersikap masa bodoh dan sesuka hati, menjadi bahan gunjingan publik di kemudian hari adalah sesuatu yang ia hindari.

Padahal, ini hanya kencan biasa. Rasanya ia juga tak mungkin diajak candle light dinner segala, mengingat hubungan mereka yang terombang–ambing di tengah prasangka bahwa ini hanyalah hubungan pura-pura.

Ya, itu murni prasangka.

Ia mengakui pria itu sering membuat emosinya naik turun. Terkadang Costa menyanjungnya sehingga ia punya harapan, tetapi terkadang juga bersikap biasa-biasa saja.

Semakin lama mengenalnya, semakin ia tahu bahwa Costa pribadi yang menyenangkan. Perhatian hangatnya terasa sangat tulus. Tipe pendengar yang baik seperti katanya waktu itu.

Ia mulai terbiasa. Namun, tak berani mengharapkan hubungan ini berlangsung lebih lama.

OK, mereka memang berpacaran. Ia sendiri yang menganggukkan kepala menerima Costa waktu itu. Tapi, pria itu tak pernah menyatakan perasaannya, menyukainya, atau semacamnya. Bukankah itu penting?

He's unpredictable. Pun ketika hendak bertanya, mulutnya tak berani angkat bicara. Lidahnya kelu.

Tetapi, ah, sudahlah. Jalani saja!

Baru hendak melangkah keluar kamar, ponselnya berbunyi. Sudut bibirnya mencuat ke atas.

"Hai," sapanya pada Attar. "Kamu nggak pulang?"

"Nggak dibolehin pulang. Aku udah kayak kerja rodi di sini," gerutu Attar lelah.

Thalia menanggapi dengan kekehan geli.

"Kamu mau keluar?"

Thalia mengerang. "Kok, tahu?"

"Malam minggu biasanya kamu kencan, 'kan? Sama siapa lagi sekarang? Cowok baru lagi?"

"He eh."

"Jaga diri baik-baik. Awas aja kalau kebablasan, aku cincang kalian!"

"Iya, iya, ah!" Thalia merengut kesal. Attar tahu ia memiliki banyak pacar, silih berganti. Pria itu tak mau ikut campur, kecuali tak bosan-bosannya mengingatkan agar ia tidak terlalu jauh.

Terdengar tawa dari seberang.

...

...

"Udah, ya." Thalia memutus percakapan mereka.

"Hmm. Bye."

Thalia menyimpan ponselnya. Ia menghela napas dan menghembuskannya pelan-pelan.

"Bapak nggak malu jalan sama saya?" Thalia buka suara sekeluarnya dari kamar. Kedua tangannya memegangi tali tas selempangnya kuat-kuat. 

"Kenapa harus malu?" Costa menjawab sambil berdiri dari sofa. Penampilannya juga sudah rapi. Mengenakan celana khaki, kaos putih dan kemeja hijau lumut tanpa dikancing di luarnya.

"Kaki saya masih agak pincang, lho." Ia memang sudah bisa berjalan, masih agak ngilu bila berlama-lama. Mungkin dalam dua hari ia akan menyingkir dari unit costa, kembali ke rumah kosnya.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang