11. Inner Conflict

10.8K 1.6K 349
                                    

Pukul setengah enam subuh, Thalia terbangun. Ia duduk di tempat tidur dan melakukan beberapa gerakan stretching ringan agar otot-ototnya yang tegang dapat bergerak dan berfungsi dengan efisien. Selain itu, peregangan di pagi hari juga memperlancar aliran darah menuju otak sehingga tubuh lebih berenergi.

Ia mengangkat kaki kirinya dan duduk menjuntai di pinggiran ranjang. Saat itu ia menyadari, semalam dirinya tidur masih mengenakan jaket kulit pemberian Costa.

Sebelum Thalia membuka jaket itu, pintu kamarnya diketuk dari luar. Ia mengambil kruknya dan membuka pintu. Tampak olehnya Costa berdiri di sana dengan setumpuk barang di tangannya.

"Ini handukmu," katanya mengulurkan seperangkat alat mandi lainnya seperti sabun, sikat gigi, shampo, odol dan segulung plastik wrap untuk membungkus lukanya agar tidak basah. Semuanya masih dalam kondisi baru.

"Makasih, Pak." Thalia menyambutnya dengan anggukan tak enak hati.

Costa mengangkat alisnya heran. Ajaib! Alih-alih ponsel mahal, sebuah tragedi ternyata lebih mampu membuat gadis itu bertingkah seperti yang seharusnya.

Thalia menutup pintu kamar dan meletakkan barang-barang tersebut di atas tempat tidur.

Ia membuka lemari pakaian mengambil ranselnya, lalu mengeluarkan sehelai kaos dan celana panjang kain yang terbungkus rapi dalam plastik laundry. Di tumpukan terbawah ranselnya, ia menemukan beberapa helai pakaian dalam yang seketika membuat pipinya bersemu merah.

Thalia memukul keningnya. Ketika barang-barang pribadi disentuh seorang pria yang bukan siapa-siapa, bagaimana rasanya? Bagi Thalia sendiri, itu adalah momen yang awkward dan memalukan.

Tidak mau berlama-lama menyumpahi diri, ia segera masuk ke kamar mandi. Tempat tersebut bisa dibilang amat lapang. Berukuran dua kali tiga meter dengan desain minimalis serba putih. Sebuah kubikel dengan partisi lengkung dan rapat terletak di sudut sehingga area basah dan kering terpisah dengan baik. Bathtub, toilet duduk, wastafel, kabinet wastafel dengan tiga ruang penyimpanan serta gantungan baju dan handuk tersusun rapi dan apik di tempatnya masing-masing.

Thalia meletakkan handuk dan pakaiannya di gantungan. Setelah itu, ia duduk di kursi dan membungkus lutut serta engkel sampai ujung jari kaki dengan plastik wrap berlapis-lapis memastikan agar lukanya tidak basah. Dua hari sebelumnya ia cukup berpuas diri menggunakan kantong kresek untuk membungkus kakinya.

Mengamati baju kaosnya yang sobek tak beraturan di bagian perutnya, ia meringis pasrah. Kaos tersebut ia beli bulan lalu dan sayang sekali rasanya untuk dibuang karena baru dipakai dua kali.

***

Setelah mandi, Thalia keluar dari kamarnya. Semalam ia tidak begitu memperhatikan dengan jelas. Kini ia bisa melihat, unit tersebut memang lapang karena tidak banyak barang, seolah tempat tersebut hanya persinggahan sementara.

Unit Costa terdiri dari dua kamar utama yang dipisahkan sebuah lorong menuju dapur. Satu ruang santai menghadap langsung ke floor to ceiling window yang menampakkan salah satu sisi kota Jakarta di pagi hari. Ruang tamu dengan ruang santai itu dibatasi lemari yang ditengah-tengahnya terdapat akuarium raksasa.

Kalaupun ada maling nekat masuk ke unit tersebut, tidak banyak yang bisa dia bawa pulang. Hanya sebuah televisi berukuran raksasa di dinding dan ikan-ikan mahal yang berenang di habitatnya.

"Kamu sarapan pakai apa?" tegur Costa begitu keluar dari kamarnya. Pria itu sudah rapi. Costa mengenakan jeans panjang dan kaos berwarna hijau lumut. Rambutnya masih setengah basah, menyisakan sedikit tetesan air di ujungnya.

Sekilas Thalia dapat mencium aroma segar yang menguar lembut saat Costa berjalan melewatinya.

"Terserah," jawabnya canggung, teringat akan pakaian dalamnya.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang