7. Bad Luck

10.4K 1.6K 230
                                    

Costa tengsin berat tatkala beberapa pasang mata mengarah bulat-bulat kepadanya. Wajahnya merah padam menahan malu. Kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya. Dokter dan perawat serempak membuang muka untuk menyembunyikan tawa mereka. Rasanya ia ingin menghilangkan diri saja.

Ia menyesal tidak menyerahkan segala urusan pada teman merangkap pengacaranya yang saat ini tengah tertawa terpingkal-pingkal di luar sana. Harga dirinya seketika anjlok hanya gara-gara seorang gadis yang kebanyakan menonton televisi atau membaca gosip recehan di media massa.

Bila dipikir-pikir, apa korelasinya antara kegagalan pernikahannya dengan kecelakaan yang menimpa gadis itu? Bukan hanya sekali ini saja ia jadi bahan olok-olok. Teman-temannya juga kerap mengejeknya ketiban sial gagal menikah dua kali. Kini, orang yang baru ditemuinya pun mengatakan hal yang sama. Ia berharap semoga saja tidak ada yang kurang ajar merekam aksi si gadis dan menyebarkannya di media sosial.

Sementara gadis yang lebay-nya tak ketulungan itu, kini berteriak dan meraung macam orang kesurupan. Perawat kepayahan menenangkannya. Airmatanya bercucuran seperti banjir bandang. Alih-alih iba dan kasihan, Costa malah ingin menyumpahinya. Kepalanya mendadak pusing.

Setelah agak tenang, kini gantian mulut gadis itu yang merepet pada dokter di sampingnya.

"Whuaaa! Saya masih mau kuliah, Dokter! Masih mau bekerja. Karier saya jernih di depan mata. Saya juga belum menikah, Dok. Kenapa kaki saya harus dipotong? Dokter mau, saya nggak laku, jadi perawan tua lalu depresi dan mati bunuh diri? Nanti, kalau ada yang bongkar makam saya tengah malam demi ilmu hitam, bagaimana? Nambah lagi dosa saya, Dok! Amit-amit, Dok. Saya nggak mau jadi arwah gentayangan!" ucap Thalia sesenggukan. Airmatanya berderaian. Bayangan bahwa kaki kirinya dipotong dari lutut ke bawah dan menyandang status difabel membuatnya gila.

Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Baru saja sore tadi ia bersuka cita mendapat izin kuliah plus keringanan biaya, kini semuanya terenggut sekejap mata. Seluruh angan akan masa depannya runtuh tak bersisa.

Setelah ini ia hanya akan menjadi manusia tak berguna yang merepotkan saja.

Perawat dan dokter yang ada di sana saling berpandangan. Mereka tidak tahu entah harus tertawa atau kasihan. Di penghujung jam kerja seperti ini, malah dihadapkan pada pasien yang sepertinya terlalu banyak menonton sinetron di saluran televisi swasta.

"Tenang, Bu. Anda tidak apa-apa," kata salah seorang perawat menenangkannya.

"Kaki saya tinggal separuh, bagaimana saya bisa tenang, hah?!" balasnya membentak.

Costa memijit kepalanya.

"Barangkali Anda salah lihat. Kaki Anda hanya keseleo."

"Tetap saja, sa — eh, keseleo?" Thalia melongo. Tangisnya seketika berhenti. Ekspresinya berubah cengo. "Beneran, Dok?" Ia menoleh pada dokter di sampingnya dan kembali meratap saat dokter tersebut menganggukkan kepala. "Kok, nggak bilang dari tadi sih, Dok?!"

Dokter tersebut menghela napas. Ia memegangi tangan Thalia dan membantunya bangkit pelan-pelan agar gadis itu bisa melihat bahwa kakinya di bawah sana baik-baik saja. Bukan tinggal separuh seperti asumsinya.

Lagipula, tidak mungkin dokter main potong seenaknya tanpa berdiskusi dengan pasien atau keluarganya. Di dalam tas Thalia tidak ditemukan identitas apapun. Mungkin dompetnya digondol maling jalanan dengan modus ingin membantu. Kesempatan dalam kesempitan, istilahnya. Ponselnya pun rusak, tidak bisa dihidupkan.

Thalia mengusap air matanya. Kepalanya menunduk malu. Kakinya masih utuh. Rupanya tadi ia salah lihat. Balutan perban di lututnya hanya untuk menutupi luka lecet dan menyisakan sedikit bercak darah di atasnya. Hanya celana panjangnya yang dipotong menyisakan separuh saja. Sedangkan pergelangan kakinya di bawah sana juga dibalut dengan perban sampai ke telapak kaki.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang