13. Contact

10.5K 1.6K 380
                                    

Keduanya terjebak dalam keheningan canggung. Lift yang ditumpangi terus menukik turun. Thalia bungkam seribu bahasa. Sedangkan Costa seolah menemukan senjata baru untuk menekan gadis itu agar tidak terus merepet di hadapannya. Sesekali ia mengulum senyum dan terkadang bersiul-siul tidak jelas seolah meledek Thalia.

Setibanya di bawah, Costa membiarkan Thalia berjalan lebih dulu. Ia pura-pura sibuk dengan ponselnya sambil terus mengamati gadis itu sampai di parkiran dan disambut oleh pak Diman. Setelah itu, barulah ia bergegas menuju mobilnya sendiri.

Thalia bersungut-sungut mengingat kelakuan Costa. Kini ia tahu, layaknya kebanyakan kaum berjakun, pria itu ternyata juga mesum!

Pak Diman mulai mengendalikan kemudi. Sesekali ia memperhatikan perubahan ekspresi Thalia dari kaca spion dashboard. Menurutnya raut wajah gadis itu lucu dan menggemaskan, persis ekspresi anak gadisnya ketika merajuk.

"Ada apa, Bu? Lagi kesal kayaknya," tegurnya sopan.

Thalia tersadar dari lamunan. "Eh, nggak apa-apa, Pak. Biasalah, hari Senin begini bawaannya masih kepingin malas-malasan," elak Thalia.

Pak Diman mengangguk maklum. "Saya kira, habis dimarahin Bapak."

"Memangnya Bapak pemarah, ya, Pak?" sambut Thalia terkejut.

"Wah, Bapak di kantor mah, galak, Bu."

"Benar, Pak?"

Pak Diman mengangguk. "Bapak itu angin-anginan. Kadang baik, kadang genit, kadang sadis."

"Hah? Sadis gimana, Pak?" Thalia membulatkan matanya mendengar info baru tersebut.

"Ya gitu, Bu. Kalau kerja nggak becus, siap-siap aja kena pecat. Nggak kayak juragan senior, baik banget orangnya."

"Masa sih, Pak?"

"Benar, Bu." Pak Diman mengangguk serius. "Masa saya bohong?"

Thalia mangut-mangut. Ingatkan dirinya untuk berhati-hati terhadap Costa. Selain tak suka bicara saat makan, sepertinya pria itu juga memiliki kepribadian ganda.

Di tengah perjalanan, ponselnya berbunyi. Thalia tersenyum sumringah membuka pesan yang beberapa hari ini tak menghampirinya.

[You okay?]

[Ya.]

[Kok perasaaanku nggak enak, ya? Kamu nggak bohong, 'kan?]

Ck, dasar tuan super peka! rutuknya dalam hati.

[Aku baik-baik aja, Tar. Sumpah!]

[Sehat? Udah sarapan?]

[Udah.]

Thalia tak enak hati telah membohongi Attar. Jika lelaki itu tahu akan kondisinya, sudah dipastikan Attar pulang saat ini juga dan menceramahinya. Bukan hanya itu, dapat dipastikan Costa pun takkan luput dari amukannya.

[Syukurlah. Awas kalau bohong!]

[Gimana Surabaya?] Tanya Thalia mengalihkan pembicaraan mereka.

[Om Robert galak!]

Thalia terkikik. [Hahahah, kasihan! Jangan bandel makanya!]

[Ck! Awas kamu! Udahan, ya. Aku dinas pagi.]

Thalia mematikan ponselnya. Sederet pesan dari Attar mampu mengendalikan rindu yang menggebu. Meskipun mereka sering bertengkar, ia tahu lelaki itu sangat menyayanginya seperti yang seharusnya.

***

Pak Diman membantu Thalia turun dari mobil. Ia berjalan terpincang-pincang menuju lift. Tak terlihat Hanum atau karyawan lain yang cukup dekat dengannya. Tempat itu masih terlihat sepi karena ia datang lebih awal.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang