4. Prelude

12.3K 1.4K 340
                                    

Selepas landing, Costa memilih pulang ke rumah orang tuanya dan baru sampai di sana pukul sebelas malam. Penerbangannya saat transit dari Singapura, mengalami delay selama dua jam hingga ia terlambat.

Ia memutar kunci dan menutup pintu dengan gerakan sepelan mungkin. Untung saja tidak ada ART yang memergokinya. Saat pintu itu sedikit berderit, ia memejamkan mata.

Kemudian, ia berjalan mengendap-endap seperti maling, menghindari terpergok oleh ibunya yang kalau marah-marah sudah macam toa berjalan, merepet tak karuan. Bisa kacau jadinya jika ia ketahuan. Sudah pasti akan diinterogasi bermenit-menit lamanya, sedangkan ia sudah letih ingin segera berbaring di peraduan.

"Dari mana saja kamu?"

Deg!

Costa sontak berhenti dan memegang dadanya. Wajahnya pias. Jantungnya seakan mau copot dari rongganya.

Ia terpaksa membalikkan badan dan mendapati seorang perempuan cantik sedang berkacak pinggang menatapnya. Namun, kecantikan wajahnya yang bagai bidadari tersebut mendadak berubah seram seperti kuntilanak ketinggalan kereta. Ditambah lagi siluet wajahnya disinari dari samping oleh remang-remang cahaya yang menembus jendela karena lampu ruang tamu tidak dinyalakan.

"Untung saja aku nggak punya riwayat penyakit jantung, Ma," sahut Costa mengalihkan fokus ibunya. "Mama mau, anak Mama satu-satunya ini menghadap Tuhan lebih cepat?

"Nggak usah sok dramatis! Dari mana kamu?" sergah Niken mengulangi pertanyaannya.

"Bukannya dua minggu lalu aku pamit ke Amerika?"

Niken mendelik mendengar jawaban ngeles dari Costa. Tetapi memang benar, anaknya pamit ke Amerika tetapi tidak mengatakan apa tujuannya.

"Kemarikan tanganmu!" pintanya curiga.

Costa terpaksa menurut, memperlihatkan kedua tangannya dan mengaduh nyaring ketika sang ibu memukulnya keras-keras. "Aduh!"

"Habis manjat lagi, hah?!"

Costa menggaruk hidungnya salah tingkah. Sang ibu memang sering marah bila ia ketahuan memanjat tebing, apalagi setelah usianya semakin bertambah. Bukan hanya takut akan nyawanya yang melayang tiba-tiba, tetapi juga bila Costa menderita osteoarthritis di usia muda pada jari-jari tangannya. Padahal itu hanya sekadar asumsi tanpa pembuktian alias mitos. Tidak ada hubungannya antara osteoarthritis dengan kegiatan panjat tebing. Hal tersebut belum dapat dibuktikan secara ilmiah.

Memanjat tidak buruk untuk jari-jari, setidaknya jika dilakukan dengan benar. Teknik yang tidak tepat dapat menyebabkan cedera, tetapi pendakian yang tepat memperkuat tendon di tangan dan jari dalam jangka waktu yang lama. Kecuali bila seseorang memang rentan terhadap radang sendi sebelumnya, maka harus berhati-hati melakukan pemanasan dengan benar dan melatih fleksibilitas jarinya.

Wanita memang selalu mengedepankan estetika di atas segalanya. Padahal bila dikaji lebih dalam, dunia para lelaki itu lebih kejam. Tidak sekadar merisaukan wajah yang tak lagi cantik dan kulit yang tak lagi mulus, seperti kulit telapak tangannya yang kasar layaknya kulit biawak.

"Panjat tebing aja terus. Kalau kamu mati di sana, gimana?"

"Ya, dikubur lah! Dimakan cacing!"

"Mama nggak sudi, ya, jemput mayatmu sejauh itu!"

"Ya sudah, biarkan saja di situ. Dimakan beruang."

"Mana ada beruang mau makan manusia kayak kamu? Dagingmu alot, pahit!"

Costa diam saja dan terus berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Ransel di punggungnya terasa semakin berat. Namun, ibunya seakan belum puas dan terus mengekori langkahnya.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang