12. Disaster

10.4K 1.5K 345
                                    

Melihat ekspresi Costa, Thalia meringis serba salah. Ia tahu, bagi kebanyakan pria, perkara membeli pembalut bukan hal yang mudah. Pandangan masyarakat seolah menyatakan secara tak langsung bahwa pembalut hanya pantas dibeli oleh makhluk bergender perempuan.

Mungkin hanya Attar yang santai saja tiap kali dimintai tolong membelikan pembalut. Entah karena Attar adalah seorang dokter atau tergolong lelaki yang tidak mempermasalahkan kesetaraan gender, sehingga perkara si 'roti Jepang' tersebut merupakan hal yang sederhana saja baginya.

Padahal seharusnya, membeli pembalut adalah transaksi yang biasa-biasa saja. Namun, bagi para pria, transaksi tersebut kerap diwarnai drama.

Tangan kirinya terus saja menutupi bagian belakang celananya yang sudah berubah warna. Andai saja tamu bulanannya tidak datang dua hari lebih cepat, tentu bukan seperti ini ceritanya.

Sedangkan Costa malah terdiam dengan muka merah padam. Menyesal rasanya ia pulang ke apartemennya. Daripada membelikan gadis sinting ini pembalut, ia lebih memilih menulikan telinga demi mendengar ocehan sang bunda.

"Kamu beli aja sendiri!" ucapnya ketus sambil menjejalkan uang kertas tersebut kembali ke tangan Thalia lalu bergegas masuk.

"Tapi, Pak, mens saya udah tembus, nih." Thalia kepayahan menyusul si kaki panjang itu dari belakang. "Beliin pembalut aja apa susahnya, sih, Pak? Hitung-hitung sekalian belajar buat isteri Bapak nanti. Ini baru disuruh beli pembalut menstruasi, lho, Pak. Apa kabarnya perempuan habis melahirkan, beda lagi pembalutnya. Bapak nggak mau, 'kan, dibilang suami nggak tahu diri? Bisanya cuma bikin anak?"

"Astaga!" Costa membalikkan badan menghadapi ocehan Thalia. Mulutnya menganga. "Memangnya kamu siapa, menceramahi saya segala?"

"Saya nggak menceramahi, Bapak. Cuma ngasih saran dan pandangan sebagai perempuan. Harusnya Bapak bilang makasih, lho, sama saya." Ia terus mengoceh membuat telinga Costa berdenging.

"Tapi kamu bukan siapa-siapa saya, Atha!"

"'Saya cuma minta tolong, Pak."

"Kamu nyuruh saya beli pembalut, sama aja kayak saya nyuruh kamu beli kondom. Kamu mau?"

Thalia mengangguk. "Mau. Apa salahnya?"

"Nggak malu?" Alisnya terangkat naik.

"Lha, ngapain malu? Kan saya beli, Pak, bukan maling."

"Astaga!" Costa mengusap wajahnya kasar. "Saya temenin kamu turun, kamu beli sendiri!"

"Tapi mens saya udah tembus, Pak."

"Ganti celana dulu, sana!"

"Nanti menjelang sampai di bawah tembus lagi, gimana dong?"

"Memangnya mens itu kayak keran bocor?"

Thalia mengangguk. "Bapak mau lihat?" Ia memutar tubuhnya untuk menakut-nakuti Costa.

"Nggak!" Costa bergidik membuang muka.

"Tolonglah, Pak. Kalau bukan gara-gara Bapak, saya juga nggak akan sudi memohon kayak gini."

"Lho, kok, gara-gara saya?" protes Costa melotot.

"Kaki saya pincang begini juga gara-gara Bapak, 'kan?"

Anjir!

Costa terdiam. Seluruh kata-katanya surut kembali ke tenggorokan. Ia berkali-kali menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Menghadapi Thalia memang membutuhkan ekstra kesabaran. Ocehan Thalia mengingatkan akan kelalaiannya, membuatnya mati kutu.

Tiba-tiba saja ia menyesal membawa gadis sinting itu tinggal bersamanya. Di abad ke dua puluh satu ini, Thalia adalah malapetaka!

Tak mau menunggu lama, ia bergegas keluar dari unitnya dengan mulut menyumpah-nyumpah sambil menghempaskan pintu. Bunyinya memekakkan telinga.

Interlude - END (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang